Thursday, January 8, 2009

PENGALAMAN PENULIS

Penulis sejak kecil, suka membaca komik dan nonton wayang kulit, sehingga dari awal kehidupan penulis, terobsesi oleh sifat tokoh komik dan atau wayang yang gagah perkasa dan berbuat kebaikan. Tokoh-tokoh sakti dapat mematahkan hukum alam/ memperoleh mujizat / karomah dari Tuhan. Tokoh wayang Mahabarata diawali dari Sentanu yang merupakan Kakek Pandawa, Pandudewanata Bapak Pendawa, Puntadewa/ Samiadji/ Yudistira, Wrekudara/ Bima, Harjuno/ Kombang Ali-Ali/ Lananging Jagad, Nakula dan Sadewa si kembar) bersama anak dan keturunannya serta penasehatnya Batara Kresna, merupakan idola penulis karena mereka sebagai manusia yang suka kepada kebenaran dan kejujuran. Gatotkaca, Antasena, Antaredjo, Abimanyu (anak Pandawa) sampai Parikesit (Cucu Pandawa), Udayana, Uda Sengsana (Cicit Pandawa), Anglingdarma (anak cicit Pandawa) sampai Angling Kusuma (cucu cicit Pendawa).

Penulis tidak menyukai terhadap tokoh Kurawa yang 100 orang seperti yang tertua Duryudana, Dursasana, Durmagati,dan Dur lainnya beserta penasehat dan provokator Durna (Bambang Kumbayana beserta anaknya Aswatama), Sengkuni, dan Panglima terkuatnya Adipati Karna yang sesungguhnya putri Kunti Nalibrata (ibu Pendawa) hasil perselingkuhan bersama Dewa Surya/ Dewa Matahari.

Dalam ceritera Ramayana, penulis menyukai tokoh Rama dan Shinta, Hanoman. Tokoh yang paling penulis benci adalah Rahwana. Rahwana mempunyai adik yang bernama Kumbakarna yang berhati mulia, namun karena dia berada di habitat negara Alengka/ Rahwana yang angkara murka, maka ia terpengaruh untuk perpihak kepada kakaknya yang angkara murka.

Oleh karena itu, penulis senang melakukan kegiatan untuk memperoleh petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa dalam menghadapi dinamika kehidupan duniawi yang serba berpasangan antara kekuatan positif dan kekuatan negatif. Dalam cerita wayang Mahabarata saja yang merupakan ceritera kuno dari India sudah menyebut berpasangan seperti Pandawa berpasangan dengan Kurawa, Amarta (negara Pandawa) berpasangan dengan Astina (negara Kurawa). Dalam ceritera Ramayana, Rahwana berpasangan dengan Rama, Negara Maospati berpasangan dengan negara Alengkadraja.

Sejalan dengan itu, penulis sejak kecil sudah mengaji (sanga lan siji/ mengkaji sembilan lubang yang ada pada diri manusia dan lubang kubur/ dunia dan akhirat), belajar agama Islam baik di Sekolah Rakyat (SR) maupun di luar sekolah pada waktu malam hari. Beberapa pemahaman tentang ajaran kehidupan manusia bercampur aduk antara komik wayang (agama Hindu) dan ajaran Ustad agama Islam. Dalam ceritera versi Ustad, penulis selalu ditakuti-takuti dengan istilah “Kelabang Kures“, yakni kelabang besar, kuat dan sangat ganas serta kalau menggigit langsung yang digigit mati seketika. (Ternyata di kemudian hari, penulis baru tahu bahwa kelabang Kures adalah sindiran untuk suku Quraisy yang merupakan suku Nabi Muhammad yang sekaligus memusuhi nabi Muhammad pada awal kenabian).

Ceritera Ustad selanjutnya, bahwa yang dapat mengalahkan Kelabang Kures adalah Nabi Muhammad SAW yang mempunyai perilaku sangat baik, rendah hati, suka menolong, sakti dan suka menyembah Tuhan Yang Maha Esa dengan cara shalat lima waktu. Penulis sering bertanya kepada pak Ustad : ”Pak antara Gatotkaca dengan nabi Muhammad sakti mana ?”. Ustad bingung karena beliau tidak memahami wayang kulit namun tetap menjawab : “ Sakti Nabi Muhammad, pokoknya tidak ada satupun manusia yang dapat mengalahkan dan menandingi nabi Muhammad di dunia ini “. Penulis bertanya lagi : “Nabi Muhammad bisa terbang dan masuk kedalam tanah seperti Gatotkaca dan Antasena, Antaredjo?” Ustad semakin bingung dan menjawab : “Nabi Muhammad bisa terbang lebih tinggi dari Gatotkaca yakni ke Arasy ketemu Allah sewaktu beliau Isra Miraj, tapi kalau masuk ke bumi jawabannya besok saja, sekarang mulai membaca surat lagi, melanjutkan ayat yang kemarin belum dibaca “. Penulis kemudian membuka Al Qur’an yang sudah berada di tangan dan mulai menderes ayat-ayat Al Qur’an.

Dalam menderes ayat–ayat Al Qur’an, penulis mempunyai kelemahan yakni suara jelek, medok sebagai orang ngapak, sehingga membaca lafal ayat Al Qur,an relatif tidak merdu sebagaimana teman-teman penulis yang lain. Namun demikian, penulis dikarunia otak yang cukup encer, sehingga jika Ustad mengajari suatu surat, penulis cepat dapat menghafal, sedangkan teman-teman penulis relatif sulit menghafalnya. Dalam membaca Al Qur’an, saat itu penulis diajari membaca dari belakang, Surat An Naas (Manusia) bukan dari depan, Surat Al Baqarah (Sapi Betina).

Surat Al Faatihah (Pembukaan), penulis sudah hafal sebelum belajar mengaji, karena diajari oleh orang tua dan guru di sekolah rakyat. Pada saat penulis sudah hafal sampai surat Al Qaari’ah (Peristiwa Besar) yang merupakan surat ke 101, teman-teman penulis baru hafal sampai surat Al Ikhlaash (Ikhlas). Teman-teman cemburu dan mengolok-olok penulis : ”Hee..hee.. jika orang Sewaka yang menderes suaranya seperti orang marah“ Memang, penulis dari desa Sewaka, desa yang penduduknya masih memeluk Islam abangan (Islam KTP, tetapi tidak melaksanakan syariat Islam dengan penuh). Sedangkan desa Kranggan mayoritas penduduknya adalah santri yang mendalami syariat Islam secara sungguh-sungguh. Ejekan teman penulis berlangsung setiap malam pada saat penulis sedang nderes. Penulis mengaji di desa Kranggan hanya sendirian tidak punya kawan dari desa Sewaka dan penulis diantar oleh kakak penulis. Namun kakak penulis tidak ikut mengaji, dia hanya bermain diluar rumah bersama anak-anak lain yang telah selesai mengaji (mengaji bergiliran karena Ustad hanya satu, sedangkan muridnya banyak ).

Begitu seterusnya ejekan berlangsung setiap malam. Malah Ustad ikut nimbrung : “ Iya suaramu seperti orang marah agak dirubah sedikit dong biar lebih merdu “. Dalam hati penulis mengatakan :” Suara saya kan sudah begini apakah bisa diubah, bagaimana caranya ya ? ” Akhirnya karena penulis merasa tidak dapat memerdukan suara, penulis tidak mau ngaji lagi di desa Kranggan. Kegiatan mengaji berhenti dan kegiatan beralih ke belajar mandiri ilmu dari sekolah. Hasilnya di sekolah sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), penulis alhamdulillah, selalu mendapat peringkat 1 (satu). Lulus SMA, penulis mendaftar calon Taruna Akabri dan alhamdullillah berkat pertolongan Allah SWT, penulis diterima sebagai Taruna AKABRI di Magelang. Namun demikian ajaran-ajaran Ustad tetap terpatri dalam dada penulis dan membentuk keyakinan bahwa agama Islam merupakan ajaran Tauhid yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, dengan pedoman Al Qur’an yang telah membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya.

Dinamika kehidupan penulis mulai berubah ke arah dinamika kehidupan sebagai Calon Taruna dan calon prajurit TNI Angkatan Darat. Dari Calon Taruna sampai lulus dan dilantik menjadi Letnan Dua Perhubungan TNI Angkatan Darat, pada 11 Desember 1973, penugasan, belajar / pendidikan, bertugas, belajar, terus silih berganti dan akhirnya pada tanggal 1 Nopember 2007, penulis dinyatakan berakhir masa tugas aktif dilingkungan TNI /TNI AD. Namun demikian pimpinan Departemen Pertahanan ( Dephan) masih mempercayai penulis untuk mengabdikan diri di Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan untuk meningkatkan kesejahteraan awak /bekas awak organisasi dilingkungan Dephan, TNI dan Polri. Pada saat itulah, setelah membaca majalah, penulis ingin menyampaikan gagasan tentang penataan kehidupan manusia yang mengacu kepada hakiki sifat manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.

Gagasan merupakan hasil pemikiran dan renungan kalbu penulis secara jernih, suci dan murni, untuk menyampaikan wacana dalam menyikapi hidup secara hakiki tanpa klise dan tedeng aling-aling, sehingga diharapkan dapat memjadi embrio merubah watak bangsa Indonesia /charachter nation buliding/ peradaban, yang sementara ini penulis anggap semu /klise / malu-malu tetapi mau. Kondidi pola pikir dan pola tindak yang demikian menyebabkan bangsa kita hidup dalam lingkungan yang semu, dan tertinggal dengan bangsa-bangsa lain didunia.

Pengalaman yang akan diceriterakan dalam uraian ini hanya beberapa pengalaman yang terkesan sangat dalam tercetak di hati penulis, sehingga tidak pernah terlupakan. Pengalaman lainnya baik rohani maupun fisik jasmani yang tidak terpatri dalam hati penulis, terpaksa tidak diuraikan disini karena terlupakan, karena penulis selama ini memang tidak pernah membuat buku harian untuk persiapan menulis. Niat menulis di hari pensiun ini hanyalah keinginan yang mendadak pada waktu membaca artikel di majalah terbitan khusus dalam menyambut 100 tahun Kebangkitan Nasional. Gagasan yang akan diuraikan sebetulnya sudah lama terpatri di sanubari penulis.

Dari awal penugasan, penulis telah melihat dan merasakan kepincangan sistem dalam setiap strata organisasi yang paling kecil sampai strata organisasi aparatur negara, namun tidak dapat berbuat banyak. Dinamika hidup, membawa penulis ke jenjang yang semakin tinggi, dan kesemrawutan manajemen organisasi, sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sosial budaya semakin terbaca dan terasakan oleh penulis, namun penulis juga tetap tidak dapat berbuat banyak. Penulis hanya dapat membenahi pada tingkat organisasi yang dalam tugas, wewenang dan tanggungjawab penulis saja. Penulis saat itu masih terikat oleh aturan yang ketat yakni tidak boleh mengkritik kehidupan negara, suka atau tidak suka agar dilaksanakan dan dijalankan saja. Daya analisis penulis terbuang dengan percuma dan hanya digunakan untuk analisis kegiatan-kegiatan mikro dilingkungan organisasi/satuan sendiri. Mudah-mudahan uraian dalam tulisan ini dapat membangkitkan kembali semangat para generasi penerus bangsa Indonesia untuk menyumbangkan karya terbaiknya bagi kemajuan bangsa, negara dan masyarakat Indonesia agar tidak punah di kemudian dasa warsa. Pengalaman penulis baik pengalaman rohani maupun pengalaman fisik, jasmani, penulis uraikan apa adanya. Mohon ma’af kepada pelaku kotemporer/pada saat itu, walaupun penulis menguraikan secara terus terang, vulgar dan menyengat, namun masih dalam batas-batas etiket dan sopan santun orang timur.

Pengalaman rohani penulis, diuraikan sesuai urutan/sekuensial berdasarkan urutan kejadian, sedangkan pengalaman fisik berdasarkan urutan waktu nyata kalender duniawi