Dalam perjalanan sejarah khususnya pada era reformasi, UUD 1945 telah mengalami 4 kali amandemen. Amandemen terhadap UUD 1945 di jaman Orde Baru adalah tabu, bahkan aktor yang akan melakukan tindakan amandemen baik kelompok maupun individu dituduh melakukan tindakan subversif dengan konsekuensi ancaman hukuman sesuai undang-undang tenatng Subersif. Sebagian elit bangsa ini meragukan tentang kebenaran UUD 1945 dijadikan dasar negara. Dia / mereka lebih senang berorientasi ke sistem dan atau paham bangsa lain. Jika kita menyadari hakiki undang-undang/ peraturan apa saja, undang-undang/aturan tersebut hanyalah untaian tulisan dengan format tertentu yang menghendaki kewajiban dan larangan manusia untuk bertindak sesuai yang tertulis itu. Dalam aplikasi di kehidupan manusia, yang merupakan subyek perilaku, apabila salah bertindak dan atau semrawut, disengaja atau tidak disengaja, selalu dilontarkan kepada undang-undang/aturan tersebut yang perlu direvisi. Manusia tidak mau menyebut dirinya yang bersalah atau secara jujur mengakui dirinyalah yang bersalah bukan aturannya.
Memang benar, manusia pada hakekatnya bersifat sombong termasuk dirimu, oleh karenanya manusia tidak mau dipersalahkan. Akhirnya yang disalahkan tata aturannya karena tata aturan tidak dapat berbicara untuk menolak dan mengatakan bahwa manusialah yang salah. Tata aturan sungguh sangat bijak, karena walaupun dia disalahkan tetap diam dan digantipun tetap diam, sehingga manusia paling suka menyalahkan tata aturan. Kasianilah dia, agar tidak selalu disalahkan oleh manusia. Begitu juga di Indonesia manakala terjadi permasalahan dibidang politik, di bidang ekonomi, dibidang sosial budaya misalnya, buru-buru manusia menuduh sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sosial budaya yang tidak baik sehingga perlu direformasi. Kenyataan sebenarnya adalah “ Man Behind the Gun “
Ada suatu ceritera di negara maju yaitu Amerika dan Jerman
Di Amerika.
US Army sedang mengadakan seleksi untuk perlombaan menembak sedunia. Para calon petembak dikumpulkan dan dilatih. Ada satu prajurit yang postur tubuhnya baik tetapi hasil menembaknya 0. Para pelatih berdiskusi kenapa nilainya 0. Mereka berdiskusi tentang jenis senjata yang digunakan. Diskusi berkisar tentang teknologi yang digunakan senjata itu mulai dari teknologi peluru, amunisi yang digunakan, cara memasang laras, pejera. Teleskop dan sebagainya. Alhasil kesimpulan diskusi bahwa senjata perlu diganti. Begitu senjata diganti, dan dicoba, hasilnya tetap menyimpang dari target, sehingga nilai masih 0. Senjata diganti lagi, hasilnya tetap 0. Setelah semua senjata yang ada di lapangan tembak habis dicoba semua, pelatih baru berfikir dan bertanya kepada petembak : “ Hei guys ! Did you ever have a trophy in your unit ?”
Petembak menjawab : “ Not Yet Sir “
Pelatih bertanya lagi : “ How many abaut your score ? :
Petembak menjawab dengan tegas : “ Hundred Sir “. Pelatih mulai bingung, nilai menembak 100, kenapa begini “. Pelatih lainnya bertanya : “ Hundred, what is the total score ?”
Petembak menjawab :” Thousand Sir “ Dua pelatih menembak jadi memahami mengapa petembak berkualifikasi demikian dikirim untuk mengikuti seleksi penyiapan event internasional. Penyelidikan berikutnya menyimpulkan bahwa dia itu adalah petembak satu-satunya, karena petembak yang baik-baik telah gugur di medan perang Vietnam. Oleh karena itu sampai sekarang di kenal Man behind the Gun.
Di Jerman.
Lain ceritera di Jerman, bukan petembak tetapi petani, Eine Bauer. Seorang petani mendengar kawannya bisa membaca koran karena memakai kaca mata baca. Dia pergi kekota untuk membeli kaca mata baca. Dia masuk kesebuah toko kacamata dan bertanya : “ Ada kaca mata baca “
Penjual : “ Oh ada, ukuran berapa :” Petani menjawab : “ saya tidak tahu tapi coba saja “. penjual menawarkan :” Baiklah, coba ini “ sambil menyodorkan sebuah kaca mata baca “ Petani mencoba membaca dan menyampaikan: “ Belum dapat membaca “ Penjual toko menyodorkan yang lain. Petani mencobanya dan tetap belum bisa membaca. Penjual menyodorkan yang lain lagi, demikian pula petani selalu menjawab belum bisa. Setelah semua kaca mata baca di estalasi toko dicoba semua, dan petani menjawab dengan kata yang sama belum bisa, maka akhirnya penjual kaca mata bertanya : Bapak bisa membaca atau tidak “ Petani menjawab dengan santainya :” Jika saya bisa membaca, saya tidak akan mencari kaca mata baca yang bisa saya gunakan untuk membaca seperti kawan saya : “. Penjaga toko diam dan menyarankan agar petani membeli kaca mata baca di sekolah bukan di toko kaca mata.
Dari cerita humor tersebut, ternyata memang benar manusia suka menyalahkan obyek dari pada mengakui dirinya/subyek yang salah.
Begitu juga yang terjadi di negara Indonesia. Elit politik melakukan reformasi total dengan menuduh perangkat dan pranata sosial yang salah, dan perlu dirombak, kekuatan rakyat/people power digunakan dan berhasil menumbangkan Orde Baru. Kenyataan sesungguhnya, bukan pranata sosial yang salah melainkan manusia yang salah/man behind the gun/sang petani yang tidak dapat membaca bukan kacamata bacanya. Akibat reformasi total yang salah alamat, elit politik yang merasa melakukan reformasi/para reformis memberangus P4. Dewasa ini, Pancasila dan UUD 1945 dijadikan hiasan dinding dan pemenuh flash disk komputer. Aplikasi kenegaraan di lapangan membingungkan. Para reformis akan menggunakan Pancasila dan UUD 1945 ragu-ragu, menggunakan aturan bangsa lain juga ragu-ragu dan tidak tahu, akhirnya para reformis menggunakan sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sosial budaya yang tidak jelas. Bentuk dan sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sosial budaya yang manakah yang akan digunakan, karena memang sudah terlanjur memberangus sistem yang ada, tetapi tidak mempunyai konsepsi yang mapan dan akan kembali kesistem semula masih malu-malu kucing dan masih ragu. Terjadilah kehidupan negara tanpa tata aturan yang jelas dan manusia yang mengawakinya juga bingung, akibatnya negara dalam posisi terombang-ambing. Kaum oportunitis, mulai memanfaatkan ketidak jelasan tersebut seperti aset negara dijual, swastanisasi tanpa konsep, semua kelihatan bingung dan menjadi bulan-bulanan negara lain yang sejak dulu ingin menguasai Indonesia yang subur, dan elit politiknya belum memahami cara mengaturnya. Akibatnya banyak aset jatuh ke tangan asing dan bisa-bisa kejadian sejarah terulang kembali, yakni peristiwa sejarah VOC akan berulang lagi di jaman Reformasi ini.
Tatanan negara berdasarkan UUD 1945 dengan perubahannya terbaca :
1. Pembukaan ( Preambule )
2. Bab I Bentuk dan Kedaulatan.
3. Bab II Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4. Bab III Kekuasaan Pemerintah.
5. Bab IV Dewan Pertimbangan Agung.
6. Bab V Kementrian Negara.
7. Bab VI Pemerintah Daerah.
8. Bab VII Dewan Perwakilan Rakyat
9. Bab VIII Hal Keuangan.
10. Bab IX Wilayah Negara
11. Bab X Warga Negara dan Penduduk
12. Bab XA Hak Azasi Manusia
13. Bab XI Agama
14. Bab XII Pertahanan dan Keamanan Negara
15. Bab XIII Pendidikan
16. Bab XIV Kesejahteraan Sosial
17. Bab XV Bendera, bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
18. Bab XVI Perubahan Undang-Undang Dasar
19. Aturan Peralihan dan
20. Aturan Tambahan.
Amandemen sudah dilaksanakan sampai empat kali, namun sebetulnya masih ada hal-hal yang mendasar belum di amandemen :
Membaca Bab III beserta pasal dan ayat pasal 4 sampai dengan pasal 15 beserta perubahannya, penulis tidak menemukan ayat yang menyatakan bahwa Presiden merangkap sebagai Kepala Negara. Hanya dipenjelasan Sistem Pemerintahan Negara alinea III, menyatakan :
III. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die Gezante Staatgewalt Liegi Allein Bei Der Majelis).
Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu Badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatvolkes) Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden) . Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah mandataris Majelis. Ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak “ neben “ akan tetapi untergeodernet “ kepada Majelis.
Ditandatangani oleh Ketua Prof DR.H.M.Amien Rais MA, Wakil Ketua Prof DR Ir Ginandjar Kartasasmita, Wakil Ketua Ir Sutjipto, Wakil Ketua H. Matori Abdul jalil, Wakil Ketua H.M Husnie Thamrin, Wakil Ketua Hari Subarno, SIP, MBA,MM Wakil Ketua Prof DR.Jusuf Amir Feisal, SPd, Wakil Ketua Drs.H.A Nazri Adlani.
Oleh karena itu dalam praktek bernegara dan berpemerintah, dengan UUD 1945 menggunakan sistem Presidentiil, Presiden merangkap sebagai Kepala Negara. Dalam kedudukan sebagai Kepala Negara berarti semua aparatur negara berada dibawah Kepala Negara, termasuk aparatur tertinggi negara/MPR. Jika hak/kewenangan Presiden habis, Presiden akan menggunakan kewenangan sebagai Kepala Negara. Dalam kedudukan seperti ini, Presiden layaknya seorang Kaisar dan menjurus kearah tindakan seorang Diktator. Jika demikian, tidak salah Bung Karno dulu, membubarkan DPRS dan mengeluarkan Dekrit Presiden yang sebetulnya Dekrit Kepala Negara. Padahal penjelasan mengatakan pemegang kekuasaan tertinggi negara adalah MPR, Presiden (Kepala Negara) tidak Neben akan tetapi untergeodernet kepada Majelis. Presiden adalah Mandataris Majelis. Penjelasan ini sesungguhnya sudah gamblang dan para praktisi dan ahli hukum tidak perlu menjelaskan lagi. Namun begitu dibawa keaspek politik, ceritanya menjadi lain. Semua aparatur negara diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan dampaknya mereka akan tunduk kepada Presiden yang nota benenya hanya mandataris untuk melaksanakan garis-garis besar haluan negara dan peraturan perundangan lainnya / eksekutive.
Pada saat kondisi seperti ini, kedaulatan rakyat hilang substansinya yang ada kedaulatan perseorangan yakni Kepala Pemerintahan yang sekaligus Kepala Negara dan sebagai Kaisar.
Oleh karena itu, sebaiknya Presiden dan Kepala Negara dipisah. Presiden adalah Kepala pemerintahan/Kepala eksekutive. Ada yang berpendapat jika demikian berarti kita menggunakan sistem Kabinet Parlementer. Penulis menjawab dengan tegas : “Tidak “. Kita tidak menggunakan Sistem Kabinet Parlementer dan atau Sistem Kabinet Presidensiil atau Sistem campuran keduanya, kita menggunakan Sistem Kabinet berdasarkan UUD 1945 yang telah diamendemen, dimana Presiden adalah Kepala Pemerintah dan Kepala Negara seharusnya dipegang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara. MPR lah yang berhak menjadi Kepala Negara dan kepemimpinannya bersifat kepemimpinan Kepanitiaan atau kepemimpinan kolektif. Decision Making Prosses/Keputusan Kepala Negara diambil berdasarkan musyawarah mufakat dan atau voting.
Yang perlu dibenahi adalah susunan anggota MPR dan tugas MPR selaku Kepala Negara/pemegang kekuasaan tertinggi negara. Susunan MPR bukan seperti jaman Orde Baru sampai 500 orang. Susunan MPR cukup 17 orang saja atau 45, sebagai angka yang bersejarah, terdiri dari ahli-ahli idiologi dan ahli politik, ahli ekonomi, ahli sosial budaya, ahli pertahanan dan kemanan, ahli hukum yang akan memutuskan jika terjadi permasalahan antara 4 (empat) aparatur negara yakni Eksekutive, Legislative dan Yudikative dan TNI serta melakukan acara protokoler kenegaraan baik melantik, menerima atau kegiatan lain yang harus dilakukan oleh Kepala Negara. Misal Pengangkatan aparatur negara oleh Kepala Negara, pertanggungan jawab pelaksanaan GBHN oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dan TNI diterima dan dievaluasi oleh Kepala Negara. Sementara ini hanya Kepala Eksekutive / Presiden saja yang membuat pertanggungan jawab setiap tahun, sedangkan Kepala Yudikative / Ka Mahkamah Agung dan Ketua Legislatif/Ketua DPR tidak melaporkan apa-apa. Manajemen negara yang baik tentunya menjamin bahwa setiap aparatur negara, baik Eksekutive, Yudikative, Legislative maupun TNI sebagai institusi, dapat terawasi dalam setiap pelaksanaan kegiatan dari mulai perencanaan APBN sampai dengan laporannya / selesai tahun anggaran. Inilah gunanya mengamandemen UUD 1945 untuk merubah tugas, wewenang dan tanggungjawab aparatur tertinggi negara / MPR dan aparatur negara DPR (Legislative), Mahkamah Agung (Yudikative), Pemerintah (Eksekutive ) dan TNI ( Pertahanan dan Keamanan Negara).
Mengapa TNI dimasukan sebagai aparatur negara ?. Jika TNI dikatakan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara ( pasal 5 UU no 34 tentang TNI ) dan TNI adalah Tentara Rakyat dan Tentara Nasional (pasal 2 UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI) , maka TNI harus berada sejajar dengan aparatur negara lainnya serta dibawah Kepala Negara, yang bertanggungjawab terhadap tercapainya salah satu sisi mata uang (kesejahteraan dan keamanan/prosperity and security). Sisi mata uang lainnya (kesejahteraan) menjadi domainnya eksekutive /pemerintah. Pemerintah mempunyai tugas, wewenang dan tanggungjawab pencapaian kesejahteraan. Dalam keadaan darurat militer dan atau darurat perang Presiden selaku pemegang kekuasaan TNI (yang telah mendapat ketetapan Kepala Negara) harus memimpin perang. Dengan demikian pada saat tersebut, TNI di serah terimakan kepada pemerintah dalam kwantitas dan kualitas yang diperlukan, artinya atas dasar keputusan /ketetapan Kepala Negara, TNI di organisasikan kepada pemerintah / eksekutive, sesuai pasal 3 ayat 1 UU no 34 tentang TNI.
Pada saat kondisi tertib sipil sampai darurat sipil eksekutif cukup dilengkapai dengan aparatur keamanan / Kepolisian dan pertahanan sipil. Oleh karena itu, Kepolisian adalah aparatur pemerintah untuk menjaga ketertiban masyarakat dan sebutan Kepolisian adalah Kepolisian pemerintah bukan lagi Kepolisian Negara. Dengan demikian Pertahanan dan Keamanan Negara merupakan tugas, wewenang dan tanggung jawab aparatur negara dibawah kendali Kepala Negara. Pertahanan dan Keamanan Negara /Hankam harus dipilahkan dengan Pertahanan dan Keamanan masyarakat/pertahanan dan keamanan sipil (Hansip). Pertahanan dan Keamanan Negara menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab seluruh rakyat beserta seluruh potensi nasional dengan komponen utama TNI dan komponen pendukung adalah rakyat beserta segala potensi nasional yang harus dikerahkan pada saat negara dan atau sebagian wilayah negara dalam keadaan darurat /militer / darurat perang dibawah kepemimpinan Presiden sebagai Kepala Pemerintah / eksekutive.
Sejalan dengan itu, MPR sebagai institusi Kepala Negara terdiri dari Ketua Umum dan Ketua-Ketua Bidang yang meliputi Ketua Bidang Ke Tuhanan Yang Maha Esa, Ketua Bidang Kemanusiaan, Ketua Bidang Persatuan Indonesia, Ketua Bidang Kerakyatan dan Ketua Bidang Keadilan Sosial. Para anggotanya adalah para ahli di bidangnya. Semua Ketua dapat bertindak atas nama Kepala Negara dalam hal kegiatan Protokoler dan pada bidangnya, namun dalam hal pertanggungjawaban sebagai Kepala Negara harus lengkap Ketua Umum dan semua Ketua Bidang bertanggung jawab.
Kedudukan 4 (empat) aparatur negara adalah sejajar dan independent. Oleh karena itu harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilih/rakyat harus memilih anggota MPR sebagai Kepala Negara, memilih Eksekutif/Presiden dan Wakilnya, memilih Ketua-Ketua dalam DPR untuk Badan Legislatif, dan memilih anggota Hakim dan Jaksa untuk Badan Yudikative /Mahkamah Republik Indonesia(Mahkamah Konstutusi dan Komisi Yudisial melebur dan masuk kedalam Badan Yudikative) dan memilih Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan. Dalam pelaksanaan kehidupan negara keempat aparat negara tersebut mandiri dan independent, satu dengan lainnya tidak dapat saling menjatuhkan, namun wajib menyelenggarakan koordinasi untuk memperoleh sinergi kelancaran jalannya sistem kenegaraan. Pengangkatan anggota keempat Badan tersebut oleh Majelis dan Kepala Negara sebagai simbul kekuasaan rakyat.
Pengangkatan dan pemberhentian jajaran eksekutife dilaksanakan oleh Presiden/Wakil Presiden selaku Kepala Pemerintah/Kepala Eksekutive dan atau Menteri atas nama Presiden. Pengangkatan dan pemberhentian jajaran Yudikative dilaksanakan oleh Ketua Mahkamah Agung /Wakil Ketua Mahkamah Agung dan atau Ketua Mahkamah Daerah. Mahkamah RI mempunyai jalur komando dan teknis internal Mahkamah dari pusat sampai kedaerah, dan independent. Begitu juga pengangkatan dan pemberhentian anggota Legislatif dilaksanakan oleh Ketua/Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan atau Ketua/Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pengangkatan Panglima, dan Pejabat teras TNI oleh Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan. Legislatif mempunyai jalur komando dan teknis antara DPR RI dengan DPR Daerah dan independent. Walaupun otoritas pada bidang masing-masing mereka mandiri dan terpisah tetapi dalam aplikasi kehidupan manusia yang serba lintas sektoral, mereka harus/wajib bekerjasama dan berkoordinasi tanpa saling mengadakan penetrasi domain masing-masing.
Eksekutive/Pelaksana, bertugas melaksanakan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang telah ditetapkan untuk kurun waktu lima tahun beserta menegakkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tegas. Untuk melaksanakan kegiatan ini Eksekutive perlu anggaran. Anggaran sebaiknya dalam kurun waktu 5 tahun sesuai berlakunya GBHN dan di breakdown setiap tahun dalam bentuk APBN, sambil merevisi rencana lima tahunan. Perencanaan Jangka Menengah 5 tahun bukan berarti setiap 5 tahun baru disusun lagi rencana yang baru, melainkan setiap tahun, rencana 5 tahunan tersebut disesuaikan agar tidak jauh menyimpang. Sebagi contoh kita membuat GBHN untuk 5 tahun, perioda tahun 2008-2013. Dalam tahun 2008 kita membuat APBN Tahun Anggaran 2008. Pada tahun 2009 yang akan datang kita menyusun APBN TA 2009 sekaligus merevisi GBHN 2009-20014, begitu seterusnya. Bapenas yang smart akan mampu merencanakan pembangunan dengan sedikit koreksi terhadap recana yang telah dibuat. Namun jika perencanaan kegiatan negara dilakukan secara asal-asalan, maka baru beberapa bulan, mulai muncul ada Perubahan/ APBNP. Semakin banyak perubahan perencanaan merupakan indikator bahwa perencanaan awal sebetulnya asal-asalan dengan dalih toh nanti dapat diadakan penyesuaian.
Sejalan dengan itu, Eksekutif tidak mencari anggaran sendiri seperti sekarang, tetapi mengajukan proposal Nota Rancangan APBN bidang pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun (Five Year Budget /FYB ) yang dirinci per kurun waktu satu tahun (APBN). Begitu juga Yudikative, Legislative dan TNI mengajukan Nota Rancangan FYB yang dirinci dalam APBN. Kompilasi rancangan FYB dan APBN dihimpun oleh DPR yang mempunyai hak anggaran /hak budget dan diajukan kepada Kepala Negara untuk memperoleh persetujuan dan ketetapan. Oleh karena itu, Bapenas seharusnya merupakan organ Majelis bukan organ pemerintah. Pemerintah seharusnya memiliki Departemen/Kementerian Perencanaan. Setelah diputuskan oleh Kepala Negara selanjutnya didelegasikan kembali kepada aparatur negara. Rencana pencarian anggaran dilakukan oleh Legislatif dengan membuat legislasi. Rencana dan pelaksanaan pengumpulan dana/anggaran pendapatan dilakukan oleh Ekssekutif berdasarkan legislasi yang telah dibuat oleh DPR. Pengendalian dan pengawasan dilakukan oleh yang memberi mandat dan didelegasikan ke DPR sebagai Lembaga yang merencanakan pendapatan, sehingga DPR sebagai Badan Pengawas dan Pengendali Keuangan Negara yang bertugas mengawasi pendapatan dan pengeluaran negara yang telah didelegasikan kepada 4 (empat) aparatur negara dan aparatur tertinggi negara yakni Eksekutive, Yudikative, Legislative, TNI dan MPR. Oleh karena itu DPR harus dilengkapi dengan Komisi Pengawasan Anggaran. Sejalan dengan itu, masing-masing aparatur negara dapat memiliki Badan Pengawas yang merupakan pengawas internal/internal audit seperti BPKP( Irjen Pemerintah), Irjen Mahkamah Agung, Irjen DPR,Irjen TNI dan Irjen MPR/Kepala Negara. Penyusunan Anggaran dilaksanakan secara bottom up planning dari masing-masing aparataur negara dan aparatur tertinggi negara, disetujui /dan ditetapkan oleh Kepala Negara sebagai top down planning, dilaksanakan oleh masing-masing aparatur negara dan aparatur tertinggi negara serta diawasi oleh DPR kembali. Disinilah letak fungsi check and balance atau check and rechek. Sejalan dengan itu Kepala Negara juga berwajib untuk mengadakan pengawasan melekat. Oleh karena itu ditiap aparatur negara dan aparatur tertinggi negara, harus dilengkapi dengan organ untuk tugas perencanaan dan pengawasan.
Dewasa ini tampak rancu antara tugas, wewenang dan tanggungjawab BPK dan BPKP. Jika organisasi aparatur negara ditata sesuai UUD 1945 sebetulnya tidak akan rancu, BPK / Komisi Pengawasan Anggaran merupakan alat DPR dalam melaksanakan external audit, sedangkan BPKP merupakan alat pemerintah dalam melaksanakan internal audit eksekutive dan dimasing-masing aparatur negara lainnya juga ada organ pengawas internal.
Jika telah tertata, maka tidak akan ada Eksekutif menentukan naik turunnya harga BBM, pajak, tarif tool, namun yang menentukan adalah Legislatif dengan mengeluarkan legislasi-legislasi dalam bentuk Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang kenaikan BBM, tentang kenaikan Pajak, tentang Kenaikan Tarif Tool dan sebagainya yang merupakan cerminan wakil rakyat dan mendapat persetujuan dari Majelis. Dengan demikian Legislatif bukan hanya menyetujui / mengesahkan Undang-Undang melainkan juga mengeluarkan produk Surat Keputusan untuk memperoleh anggaran. Berikutnya Legislative melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengumpulan anggaran pendapatan yang telah diputuskan dan pengeluaran setiap aparatur negara, yang telah disetujui oleh Kepala Negara. Khusus untuk pengawasan pengeluaran Legislative dilakukan oleh organ pengawas dari Kepala Negara dan selanjutnya. Eksekutif hanya mengajukan ke MPR selaku pemegang kekuasaan negara tertinggi. Berdasarkan pengajuan Eksekutif, Yudikative, Legislatif dan TNI tentang anggaran khususnya anggaran pertahunnya yang diperlukan dalam kurun waktu satu tahun yang telah disetujui MPR, maka selanjutnya kewajiban DPR lah mencari dana/pendapatan, dengan membuat legislasi yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam dan buatan, pajak dari rakyat dan sumber daya lainnya. Itulah sebabnya DPR disebut sebagai Legislative, karena produk-produk legislasi datang dari DPR. Jika dalam dinamika kenegaraan terjadi pelanggaran, maka Badan Yudikative turun tangan. Jika permasalahan menyangkut empat lembaga negara saling bertikai, maka MPR turun tangan dengan menurunkan Komisi Yudisial dan atau Mahkamah Konstitusi.
Mengapa sekarang negara selalu mengalami kekurangan ? Sebetulnya harus diakui sejajar jujur oleh para elit yang berkesempatan menanganinya. APBN negara Indonesia yang menyusun pemerintah /eksekutive, yang mencari pemerintah, lantas siapa yang mengawasi bahwa pemasukan negara memang sejumlah itu ? BPK hanya mengawasi pengeluaran negara c/q pemerintah, lantas siapa yang memeriksa/mengaudit pemasukan negara ? Apa betul pemasukan negara sejumlah itu, apa benar BBM disubsidi sejumlah tertentu, apa benar pajak dari rakyat hanya sejumlah itu, apa benar pemasukan negara dari eksplorasi sumber daya alam dan buatan hanya sejumlah itu ? Siapakah yang dapat menjawab ? Sampai sekarang belum ada lembaga yang diserahi untuk menangani hal tersebut. Mengapa ? Karena eksekutive merangkap Kepala Negara, sehingga tidak jauh dengan diktator, mencari sendiri dan menggunakan sendiri, persetujuan DPR hanya formalitas. DPR belum mempunyai kemampuan memprediksi kemungkinan pemasukan dalam kurun waktu satu tahun apalagi dalam kurun waktu lima tahun. Seharusnya kita membuat DPR kuat adalah untuk membuat legislasi yang baik dan mengawasi yang baik bukan kuat untuk berbuat sewenang-wenang. Pengawasan pendapatan dan pengeluaran negara seharusnya dilakuakn oleh DPR. DPR seharusnya mempunyai Badan Pemeriksa Pendapatan dan Pengeluaran Negara. Sasaran pengawasan dan pemeriksaan adalah Pendapatan Negara yang dikumpulkan oleh Eksekutive, pengeluaran jajaran Eksekutif, pengeluran jajaran Yudikative, pengeluaran jajaran Legislatif, pengeluaran TNI dan pengeluran Majelis/ Kepala Negara itu sendiri. Dewasa ini, Legislative tidak merasa bahwa tugas mencari dana untuk pendapatan negara adalah tugas DPR melalui pembuatan legislasi-legislasi (hak budget/anggaran). DPR hanya menunggu masukan dari pemerintah. Jaman Orde Baru memang demikian, karena anggota DPR tidak dilengkapi dengan perangkat untuk itu.
Sebaiknya eksekutive mengurusi negara aspek kesejahteraan dan sosial budaya, yudikative mengurusi negara aspek hukum dan peradilan, legislative mengurusi negara aspek aturan infra struktur kesejahteraandan sosial budaya, TNI mengurusi negara aspek pertahanan dan keamanan dan persatuan. Masing-masing aparatur negara tersebut mempunyai kewenangan yang mandiri pada bidangnya namun wajib menjalin koordinasi untuk memperoleh sinergi kekuatan negara serta dibawah kendali kekuasaan rakyat yang terjelma dalam bentuk Kepala Negara / Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Namun jaman reformasi, seharusnya itulah yang direformasi bukan pranata sosial yang sudah mengacu kepada sunatullah malah diberangus. Keseimbangan dalam berpasangan adalah sunatullah yang harus ditiru dalam menata kehidupan manusia, bangsa, masyarakat dan negara.
Tata pengaturan / pengurusan negara yang dikehendaki oleh UUD 1945 adalah sistem keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara Eskekutive Power, Yudikative Power, Legislative Power dan Defence and Security Power, dimana negara ditata oleh empat lembaga yang independent dibawah pengawasan kekuasaan tertinggi yakni rakyat/kedaulatan rakyat yang terjelma dalam bentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sayangnya sampai sekarang belum ada yang membedah makna yang terkandung dalam sari pati UUD 1945 yang singkat dan supel itu. Pembedahan makna yang tersirat dalam UUD 1945 masih dikaitkan dengan interest pribadi dan kelompok baik pada jaman Orde Baru maupun jaman reformasi, sehingga makna implisit UUD 1945 membias terus menerus. Sementara itu, manusia menuduh bahwa biasan tadi berasal dari UUD 1945 itu sendiri. Akhirnya, reformasi kehilangan arah, yang seharusnya untuk mengganti manusianya malah terjebak kedalam penggantian pranata sosial dan infra struktur yang sebetulnya sudah hampir mapan. Para pelaku reformasi bingung menengok kekanan dan kekiri mencari bahan banding yang dianggap baik, padahal pendahulu, pendiri negara sudah memberikan pedoman yang kuat untuk melanjutkan penataan negara, tinggal menjabarkan saja dalam peraturan yang aplikatif, toch masih belum yakin, kados pundi mas/ kamaha damang kang / horas bang ?.
Demikian juga pemahaman politik luar negeri bebas aktif. Bebas dan aktif diterjemahkan non blok, sehingga negara kita masuk sebagai anggota negara non blok. Apakah benar demikian makna UUD 1945 ? Negara non blok adalah kumpulan negara miskin dan kita bergaul dengan negara miskin akhirnya seperti sekarang, kita tetap miskin terus. Kita mengadakan perjanjian atau MOU dengan negara miskin tetapi juga bukan berarti kita memusuhi negara kaya / negara kuat. Bebas dan aktif artinya negara Indonesia dapat secara bebas mengadakan kerjasama/MOU dibidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan untuk memajukan rakyatnya tanpa paksaan dari pihak lain. Jika pemahaman seperti ini, kita dapat memilih kerjasama untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya tanpa disertai latar belakang persamaan agama atau faktor pembatas lainnya. Kerjasama hanya ada satu kesamaan maksud dan tujuan yakni untuk kepentingan bersama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak/mutual benefit. Inilah pertimbangan utama didalam menentukan kerjasama bukan karena persamaan kultur, persamaan kulit ataupun persamaan agama dan persamaan lainnya.Kita negara miskin, bergaul hanya dengan negara miskin apalagi disertai rasa permusuhan dengan negara kaya, maka kita akan terjerumus kejurang kemiskinan terus menerus. Kita bisa menegok negeri lain, seperti Afrika Selatan, manusia kulit hitam bekerjasama dengan manusia kulit, sekarang Afrika Selatan sebagai negara industri dan merupakan negara termaju dari negara Afrika lainnya seperti Somalia, Negeria, Zambia dan lain-lain. Begitu juga melihat ke Amerika, bangsa Indian punah karena tidak mempunyai kekuatan tetapi tetap melawan kepada manusia pendatang yang notabenenya lebih smart dan lebih menguasai teknologi. Manusia berkulit hitam (Negro) bekerja sama dengan orang kulit putih dapat menikmati kesenangan. Malayasia dan Singapura bekerjasama dengan Inggris dibawah komonity Commonwealth, ternyata lebih maju dari negara kita walaupun awalnya mereka mengagumi negara kita. Negara kita maunya mandiri tidak mau bekerjasama dengan negara lain dengan alasan gengsi. Kekayaan di pulau–pulau, kekayaan hutan, kekayaan laut dan kekayaan mineral dibiarkan terlantar dan akhirnya malah negara Indonesia diekploitir oleh manusia lain bekerja sama dengan oknum manusia yang tidak bertanggungjawab, sebagian kecil untuk rakyat Indonesia dan sebagaian besar untuk orang lain dan manusia Indonesia yang mendapat kesempatan memperoleh kepercayaan dari rakyatnya.
Untuk lebih jelasnya, penulis akan membahas UUD 1945 dari Pembukaan sampai ke Aturan Tambahan.
1. PEMBUKAAN ( PREAMBULE ).Pembukaan terdiri dari empat alinea. Dalam penjelasan telah dibahas bahwa Pembukaan mengandung empat pokok pikiran dan pada alinea keempat mengandung muatan Pancasila. Penulis tidak membahas ke empat pokok pikiran tersebut, karena penjelasan sudah gamblang. Penulis lebih cenderung ke pemahaman bahwa makna yang terkandung (empat pokok pikiran tersebut) merupakan awalan pendirian negara baru dengan pemerintah baru dengan kedaulatan baru, bukan dalam rangka pembentukan bangsa dan wilayah baru. Bangsa/ rakyat dan wilayah adalah tetap dari awal kerajaan sampai jaman pemerintahan kolonial. Sejalan dengan itu pada alinea ke IV :” Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan , serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “ terdapat tujuan bangsa Indonesia dan dasar negara Pancasila.
Dengan pemahaman seperti itu, maka Pembukaan sebaiknya tidak perlu diamandemen, karena mengamandemen Pembukaan berarti merubah empat pokok pikiran dan sekaligus pembentukan negara baru. Pemahaman seperti ini sudah dijelaskan dalam materi penataran P4, sayangnya sekarang materi tersebut telah diberangus tanpa tahu apa pengganti sebagai konsepsi pembentukan karakter bangsa Indonesia yang majemuk ini.
2. BAB I BENTUK DAN KEDAULATANAwalnya, bentuk dan kedaulatan diatur dalam Bab I Pasal 1 ayat 1 :” Negara Indonesia ialah negara Kesatuan yang berbentuk Republik, ayat 2 :” Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat “ . Kemudian amandemen ketiga tahun 2001 ayat 2 dirubah : Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar “. Dan penambahan ayat 3 :” Indonesia adalah negara hukum “. Menurut penulis amandemen seharusnya Pasal 1 ayat 2 menjadi : Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang sekaligus sebagai Kepala Negara.
Mengapa MPR sebagai Kepala Negara ? Kekuasaan negara berada di tangan rakyat yang mengejawantah dalam bentuk Majelis. Kekuasaan rakyat yang tidak terbatas ini tidak dapat didelegasikan kepada perorangan, harus kepada lembaga, sehingga mekanisme pengambilan keputusan berlangsung secara demokratis bukan single decision maker. Kekuasaan negara diserahkan kepada perorangan sama saja melegalisasi kekuasaan kaisar dan atau diktaktor, kekuasaan rakyat hilang lagi dan kembali ke perorangan seperti yang sekarang terjadi, karena Presiden merangkap sebagai Kepala Negara. Namun amandemen yang telah dilakukan tidak seperti itu. Dengan amandemen tersebut, tidak merubah substansi, karena pernyataan kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dan UUD yang digunakan saat ini adalah UUD 1945 yang melegalisasi Presiden merangkap sebagai Kepala Negara ( Sistem Kabinet Presidensial) . Kekuasaan negara tidak ada perubahan yang significant, apa artinya reformasi jika hal seperti ini hanya dirubah redaksional tanpa merubah makna ?
Amandemen ketiga pasal 3, pasal 6, pasal 6A, pasal 7A, pasal 7B, pasal 8, pasal 11 dan pasal 17, terlalu bertele-tele, namun substansi perubahan yang mendasar belum tersentuh. Sebaiknya ditegaskan saja Presiden merupakan Pelaksana Pemerintahan, DPR merupakan pelaksana pembentuk regulasi dan legislasi, Mahkamah Agung merupakan Pelaksana Peradilan dan penegakan hukum.TNI merupakan pelaksana Pertahanan dan kemanan serta persatuan bersama potensi nasional lainnya. Keempat aparatur negara berada di bawah Majelis selaku Kepala Negara.
3. BAB II MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT.Kewenangan MPR memilih Presiden dan Wakil Presiden sudah hilang karena Presiden dan Wakil dipilih langsung oleh Rakyat walaupun masih dilantik oleh MPR. Tugas MPR mengubah dan menetapkan UUD masih ada namun tugas menetapkan garis-garis Besar Haluan Negara menjadi hilang, terus siapa yang menetapkan GBHN tersebut. Ternyata, karena kebingungan, negara berjalan tanpa GBHN, hanya sekedar rencana tahunan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN. Tingkat negara hanya mampu merencanakan kegiatan tahunan, itupun 3 (tiga ) bulan kemudian diadakan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP). Hal ini tampak dengan jelas bahwa pelaku reformasi tidak memiliki konsepsi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang keyakinan bahwa bangsanya akan dibawa dalam track yang benar /lurus/ shirotol mustaqim kearah pencapaian masyarakat yang sejahtera, makmur, adil, aman dan demokratis.
Pasal perubahan/amandemen malah menghancurkan tatanan yang sebetulnya telah mapan diganti dengan pasal-pasal kepentingan sesaat dan tidak konseptual termasuk pemberian kekuatan dan kekuasaan kepada DPR untuk bertindak diluar kewenangannya, seperti melakukan intervensi terhadap kekuasaan eksekutif. Seharusnya Legislatif dan Eksekutive merupakan aparatur negara yang sejajar dan berwenang dalam tugas dan tanggungjawab masing-masing. Evaluasi kinerja Eksekutive, Yudikative dan Legislative adalah domain/kewenangan Majelis selaku Kepala Negara yang memegang kekuasaan tertinggi rakyat. Pasal–pasal inilah yang harus direformasi/diamandemen agar susunan Aparatur Negara yakni, Presiden sebagai Kepala Pemerintah/sebagai Lembaga eksekutive pelaksana undang-undang dan peraturan lainnya, DPR sebagai Lembaga penyusun legislasi dan regulasi, undang-undang dan peraturan lainnya , Mahkamah Agung sebagai Lembaga peradilan yang menentukan salah benarnya penyelenggaraan negara serta TNI sebagai Lembaga yang bertugas, wewenang dan tanggungjawab terhadap pertahanan, kemanan dan persatuan negara bersama seluruh rakyat dan seluruh potensi nasional, berkedudukan sejajar dan mempunyai tugas, wewenang dan tanggungjawab yang jelas serta mempunyai kemandirian kekuasaan tanpa saling melakukan penetrasi namun wajib memnyelenggarakan koordinasi yang konstruktif untuk memperoleh sinergi kekuatan tatanan negara. Aparatur negara tersebut dibawah kekuasaan Kepala Negara yang memegang kekuasaan tertinggi rakyat yang terjelma dalam bentuk MPR, sehingga MPR merupakan Aparatur tertinggi negara dan sekaligus sebagai Kepala Negara karena membawahi aparatur negara lainnya. Inilah seharusnya substansi amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan. sehingga merupakan landasan reformasi yang konseptual.
4. KEKUASAAN PEMERINTAH NEGARA.Kekuasaan Pemerintah Negara diatur dalam pasal 4 sampai dengan pasal 5, pasal 6.6A, pasal 7, 7A, 7B, 7 C, pasal 8 sampai dengan pasal 16. Pada awalnya pasal 5 menyebutkan Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal ini kemudian diubah menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Perubahan pasal ini memang benar, namun perubahan dan penambahan pasal yang mengatur tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemberhentian dan sebagainya terlalu bertele-tele, padahal yang bertele-tele itu seharusnya ditentukan di dalam Undnag-undang sebagai penjabaran Undang-Undang Dasar. Namun pasal 10 yang memberi kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara malah tidak diubah. Padahal TNI seharusnya merupakan aparatur negara dan berada dibawah kekuasaan Kepala Negara / MPR. Presiden hanya menerima earmark atau bawah perintah sejumlah yang dibutuhgkan pada saat negara/ wilayah dalam status keadaan darurat militer. Membatasi kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara hanya pada setiap pasal dengan menambah dengan persetujuan DPR.( Pasal 11 ayat 2, pasal 13 ayat 3 ), mengapa tidak disebutkan diatur dalam undang-undang. Dengan substansi perubahan pasal-pasal UUD 1945 tersebut, tampak DPR terlalu banyak menetrasi kekuasaan eksekutive, padahal yang berhak menetrasi kekuasaan eksekutive adalah MPR. Posisi Presiden berdasarkan UUD 1945 beserta perubahannya menjadi tidak jelas, apakan seperti Kepala Negara atau seperti Perdana Menteri. Dari pada bingung lebih baik UUD diubah/ diamandemen seperti kehendak yang tersirat dalam pasal-pasal UUD 1945 yakni mekanisme pengambilan keputusan tingkat Negara dilakukan oleh MPR dengan Voting dan atau musyawarah untuk mufakat, namun pelaksana pemerintahan negara diserahkan kepada Kepala Pemerintahan sebagai Presiden bukan sebagai Perdana Menteri. Mengapa kita terpancang dan terbelenggu oleg teori Sistem Kabinet Parlementer atau Sistem Kabinet Presidensiil ? Apakah memang demikian dalam mengaplikasi suatu ilmu sosial ? Penulis berpendapat bahwa ilmu sosial hanyalag sebagai pembanding dan rambu-rambu, namun bukan untuk dijiplak “plek” seperti aslinya. Setiap bangsa mempunyai ciri seni dan budaya serta keinginan yang berbeda dengan bangsa lain. Hal ini yang perlu dipahami oleh para elit politik agar tidak hanya pertimbangan politik saja dalam bermain sandiwara dunia yang cantik.
5. BAB IV DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG.Pada awalnya, DPA termasuk aparatur negara namun tugasnya merefleksikan hanya aparatur pemerintah seperti tercermin dalan pasal 16 ayat 1 Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan undang-undang. Ayat 2 : Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah.
Dengan rumusan tersebut, sebetulnya DPA adalah aparatur pemerintah dan harus dibawah organisasi pemerintah/eksekutive, bukan berdiri diluar pemerintah. Oleh karena itu tepatlah jika pada amandemen ke empat tanggal 10 Agustus 2002 Bab IV tentang DPA dihapus. Namun sayangnya diganti dengan pasal 16 : “ Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang.” Penggantian pasal 16 ini menunjukan bahwa kabinet pemerintah masih dianggap tidak lengkap karena masih menunjuk penasehat yang bertugas memberi nasehat dan pertimbangan kepada Presiden. Seharusnya yang bertugas memberi nasehat dan pertimbangan/saran kepada Presiden adalah para menteri pada bidangnya. Jika pemerintah membentuk dewan penasehat lagi yang dilegalisasi oleh Undang-Undang Dasar, menunjukan bahwa susunan kabinet pemerintah belum lengkap dan atau masih terdapat gap / kekosongan rincian tugas, wewenang dan tanggungjawab kementerian / departemen. Oleh karena itu susunan/ struktur organisasi pemerintah, Presiden dan kementeriannya/ departemennya harus dituangkan dalam undang-undang yang mapan sehingga setiap pergantian awak organisasi, apakah karena Pemilu atau karena resafle kabinet, Presiden tidak semaunya merubah dan mengganti kementerian / departemen. Organisasi Pemerintah/Kabinet seharusnya sudah mapan bukan setiap ganti presiden, ganti pula susunan kementeriannya/departemennya. Seharusnya kotak Presiden dan Kabinetnya sudah tertata dalam Undang-Undang Kepresidenan/Kabinet, sedangkan dalam perubahan karena pemilu atau resafle kabinet yang diganti adalah awak organisasi bukan struktur organisasi kabinet. Inilah yang perlu di reformasi, bukan seperti sekarang reformasi hanya merubah kalimat tanpa merubah substansi sehingga terjelmakan dalam aplikasi penyusunan kabinet, sekedar untuk rame-rame membagi kekuasaan kepada para partai politik. Oleh karena itu, struktur kabinet perlu segera ditata dalam undang-undang kabinet / kepresidenan.
Bermain politik yang cantik adalah berebut kekuasaan berdasarkan aturan yang berlaku untuk dapat ikut mengatur rakyat sambil memperoleh kehormatan, kebanggaan dan pengakuan dari manusia lain. Tingkat kebutuhan Presiden beserta kabinetnya seharusnya sudah pada tingkat kebutuhan kehormatan, dan kebanggaan/aktualisasi diri sehingga kebutuhan ekonomi bukan merupakan tujuan mereka berebut kekuasaan. Jika tingkat elit aparatur negara masih mengejar kebutuhan ekonomi yah seperti sekarang, perebutan kekuasan/pemilihan calon dijual belikan, akibat logisnya, jika mereka terpilih akan menyalah gunakan kekuasaannya, semakin tinggi tingkatnya semakin besar pula jumlah kekuasaan yang disalah gunakan. Mereka tidak mempunyai misi pribadi kehormatan dan kebanggaan diri, hanya sekedar menuntut ganti rugi modal dan bunganya beserta keuntungannya terhadap dana yang sudah dikeuarkan sewaktu pemilihan. Menjadi aparatur negara berubah menjadi bisnis, padahal jika siap menjadai aparatur negara berarti siap untuk hidup layak bukan siap untuk hidup mewah, jika ingin hidup mewah harus menjadi pengusaha swasta yang bebas mempunyai kekayaan. Semboyan mereka :” Lebih baik jual martabat dari pada jual martabak dari pada rugi, seharusnya moto para elit aparatur negara adalah : Lebih baik jual martabak untuk membeli martabat demi kehormatan dan kebanggaan diri “. Kehormatan dan kebanggaan memberikan karya terbaik para elit aparatur negara kepada bangsa dan negaranya adalah dambaan dan idaman serta impian semua manusia yang berhabitat positip dimanapun mereka berada termasuk rakyat Indonesia.
6. BAB V KEMENTERIAN NEGARA.
Awalnya Bab V Kementerian Negara diatur dalam pasal 17 Ayat 1 :” Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara “
Ayat 2 :” Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden “.
Ayat 3 :” Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintah “.
Amandemen pertama tahun 1999 ayat 3 diubah :”
Ayat 3 :” Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan “.
Amandemen ini hanya sekedar merubah redaksional dari kata :” memimpin departemen pemerintah “ diganti dengan “ membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan “ Perubahan tidak begitu signifikan hanya bermain kalimat yang tak banyak merubah makna.
Amandemen ketiga Pasal 17
Ayat 4 :” Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Makna ayat ini sebetulnya menggebiri kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dengan sembunyi dibalik undang-undang.
Jika pelaku reformasi berpikiran jernih dan tidak mempunyai tendensi politik yang akan merusak tatanan, seharusnya amandemen tersebut berbunyi : Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden berdasarkan peraturan pemerintah “ . Dengan aturan seperti itu maka para menteri pemerintah ( bukan menteri negara) mempunyai monoloyalitas kepada Presiden, dan hal ini menjamin pemerintah yang solid dan kompak, tentunya diharapkan untuk kebaikan, bukan solid dan kompak untuk rame-rame kolusi menyalah gunakan kekuasaan. Namun jika kekuasaan Presiden dikebiri seperti sekarang, menteri mempunyai loyalitas ganda kepada Presiden dan kepada partai. Akibatnya, para menteri bukan membantu Presiden dalam mengemban sebagai pelaksana program dan anggaran pemerintah melainkan berusaha untuk segera menjatuhkan Presiden dan agar cepat digantikan oleh partainya. Kondisi semacam ini sangat memprihatinkan, karena kebijakan Presiden tidak akan terealisasi dengan baik, semua menteri mempunyai kekuatan latent membangkang secara tersembunyi. Disini juga tampak penetrasi kekuasaan legislative ke domain keuasaan eksekutive.
7. BAB VI PEMERINTAHAN DAERAH.Pemerintahan daerah pada awalnya diatur dalam Bab VI pasal 18 :” Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usaul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa “
Perubahan kedua tahun 2000, BaB VI pasal 18 diubah
menjadi 7 (tujuh) ayat kemudian ditambah pasal 18 A dengan 2 (dua) ayat dan pasal 18 B 2 (ayat). Penulis tertarik pada pasal 18 ayat 6 : “ Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melasanakan otonomi dan tugas pembantuan “.
Dengan adanya pasal ini, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan membuat produk hukum didaerahnya yang kemungkinan bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat. Padahal ayat sebelumnya sudah cukup membatasi kewenangan pemerintah daerah agar tidak bertentangan dengan kewenangan pemerintah pusat. Perbedaan interest khususnya pada aspek ekonomi antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuka peluang bagi pihak pemerintah daerah untuk melakukan tindakan disintergrasi dan pembangkangan terhadap pemerintah pusat /kedaulatan negara. Apakah memang otonomi dimaksudkan untuk memecah belah NKRI atau memberikan keleluasaan bertindak bagi pemerintah daerah dalam batas-batas kewajaran untuk menata kehidupan daerahnya. Perlu penertiban dan reformasi amandemen UUD 1945 untuk yang ke lima kalinya.
8. BAB VII DEWAN PERWAKILAN RAKYATAwalnya Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Bab VII pasal 19 sampai dengan pasal 22. Setelah diamandemen pada tahun 1999 perubahan pertama, tahun 2000 perubahan kedua, sedangkan perubahan ketiga Nopember 2001 dan perubahan keempat 10 Agustus 2002 Bab tentang DPR tidak mengalami perubahan.
Setelah penulis membaca isi perubahan, tampak dalam merubah / mengamandemen UUD 1945 bidang Dewan Perwakilan Rakyat semakin rancu, sistem apakah yang digunakan ?
Pada pasal 20 perubahan pertama tahun 1999 ayat 1 dikatakan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Kata membentuk mempunyai makna yang membingungkan karena pada ayat 3 dan ayat 4 menyatakan pembuatan undang-undang bersama Presiden dan undang-undang disyahkan oleh Presiden. Lantas apa sebetulnya yang dimaksud memegang kekuasaan membentuk undang-undang apa hanya membuat draft / rancangan undang-undang ? Undang-undang, apalagi substansi dalam undang-undang dasar, seharusnya tegas dan tidak meragukan. Pembentukan undang-undang adalah kewenangan DPR sehingga pengesahannya juga oleh DPR. Presiden / Pemerintah bisa saja diajak berdiskusi sewaktu pembahasannya, tetapi hanya pada tingkat saran, keputusan tetap berada di DPR selaku Lembaga Legislative yang mempunyai tugas, wewenang dan tanggungjawab pembuatan legislasi. Akibat pasal dan ayat yang berbunyi demikian maka proses pengambilan keputusan pembuatan legislasi dibagi-bagi secara membingungkan. Pekerjaan penyusunan undang-undang merupakan tugas, wewenang dan tanggungjawab kenegaraan yang luhur, bukan seperti membagi-bagi kue asal rata. Dewasa ini mayoritas penyusunan rancangan undang-undang berasal dari pemerintah, DPR hanya bersikap menunggu dan membahas, padahal seharusnya rancangan undang-undang berasal dari DPR, Presiden / Pemerintah yang akan melaksanakan undang-undang tersebut diajak bicara, sebagai bentuk mekanisme manajemen modern, namun keputusan ada di tangan DPR, bukan Presiden. Presiden adalah unsur pelaksana negara makanya disebut eksekutive, sehingga domain Presiden pada pelaksanaan undang-undang. Domain pembentukan undang-undang di tangan DPR selaku lembaga Legislative. Mekanisme yang sekarang berdasarkan perubahan pasal dan ayat tersebut, UUD 1945 menjadi rancu, kewenangan legislative bercampur dengan kekuasaan eksekutive. Koordinasi memang diperlukan namun begitu keputusan harus jelas siapa yang mempunyai kewenangan memutuskan. Hal ini sebagai dampak sistem Presidensiil yang banci dan ragu-ragu. Akibatnya lembaga eksekutive dan lembaga legislative berebut gengsi memanggil dan dipanggil dalam setiap masalah. Hal ini sebetulnya merupakan tontonan yang memalukan yang dapat dipertontonkan dalam sandiwara dunia oleh para pelaku politik di Indonesia. Baca pada lampiran tulisan penulis tentang perseteruan antara DPR dan Presiden
Perubahan ketiga tahun 2001 ada penambahan Bab VII B Pemilihan Umum dan Bab VIII A Badan Pemeriksa Keuangan.
Badan Pemeriksa Keuangan seharusnya menjadi bagian DPR dalam bentuk Komisi yakni Komisi Pemeriksaan Keuangan Negara yang mempunyai tugas, wewenangan dan tanggungjawab menyusun Rencana Pendapatan negara dan menyusun Rencana Pengawasan Keuangan Negara baik pelaksanaan Anggaran Pendapatan Negara maupun pelaksanaan Anggaran Belanja Negara. Badan pemeriksa Keuangan di Pemerintah (sekarang BPK P) seharusnya lembaga inspektorat sejajar dengan Kementerian yang lain. Kementerian/Inspektorat Pemeriksanaan Keuangan Pemerintah merupakan lembaga internal audit pemerintah. Sekarang penulis mengamati antara BPK dan BPKP saling tumpang tindih didalam melaksanakan tugasnya.
9. BAB VII A DEWAN PERWAKILAN DAERAH.
Pada awalnya Dewan Perwakilan Daerah tidak ada kemudian ditambahkan dalam Bab VII A dengan pasal 22 C yang terdiri dari 4(empat ayat) dan pasal 22 D yang terdiri dari 4(empat) pasal. Penulis tidak menyoroti Bab VIIA ini karena sudah cukup baik. Namun keketentuan yang menyatakan jumlah anggota DPD yang berada di DPR sejumlah anggota DPD dan tidak melebihi sepertiga dari jumlah DPR pasal 22 C ayat 2 ) menurut penulis masih terlalu banyak.
10. BAB VII B PEMILIHAN UMUM.
Pada awalnya Bab VII B Pemilihan Umum tidak ada. Namun dalam perubahan ketiga dimasukan Ban VII B tentang Pemilihan Umum yakni pasal 22 E terdiri dari 6 (enam) ayat.
Pada ayat 2 (dua) menyebutkan bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPRD, Presiden dan Wakilnya. Apakah benar bahwa demokrasi hanya untuk membagai kekuasaan pada eksekutive dan legislative saja. Bagaimana dengan kekuasaan tertinggi yang merupakan simbol rakyat MPR, bagaimana dengan kekuasaan hukum yang harus mandiri dan bagaimana dengan kekuasaan TNI yang merupakan aparat negara yang bertanggungjawab dalam satu aspek dari dua sisi mata uang yang merupakan kebutuhan hakiki manusia yakni kemanan negara ? Seyogyanya pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih Ketua-Ketua dalam MPR, Anggota DPR dan DPRD, Anggota Hakim dan Jaksa, Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan. Kedudukan aparatur tersebut sejajar dalam pembagian kekuasaan sistem kenegaraan dibawah kendali Kepala Negara/ MPR. Hal ini nampaknya aneh, namun itulah sebenarnya yang dihendaki dari makna implisit UUD 1945. Hal ini supaya dibahas lebih dalam oleh para pakar hukum, politik dan birokrasi dengan hati yang jernih untuk memberikan karya terbaik bagi bangsa Indonesia bukan karya terbaik untuk diri dan kelompoknya.
11. BAB VIII HAL KEUANGAN.Hal keuangan awalnya, diatur dalam pasal 23 ayat 1 sampai dengan ayat 5. Mulai diamandemen pada tahun 2001, amandemen ketiga UUD 1945. Dalam Ayat-ayat perubahan belum menyentuh mekanisme penyusunan program dan anggaran negara dalam kurun waktu jangka menengah (5 tahunan GBHN) dan jangka pendek (tahunan/APBN). Seharusnya pemerintah hanya mengajukan anggaran belanja saja, anggaran pendapatan yang merencanakan DPR yang mempunyai hak budget / anggaran. Pembahasan bersama antara Pemerintah dan DPR ditujukan untuk meyamakan persepsi apakah dalam tahun tersebut negara akan menggunakan anggaran berimbang / balance budget atau anggaran surplus / surplus budget dan diharapkan tidak mengetrapkan anggaran minus / devisit budget. Anggaran Belanja yang diajukan oleh Pemerintah sudah mencakup anggaran belanja untuk Kepala Negara, Lembaga Yudikative, Lembaga Legislative dan TNI. Pemerintah mengajukan kebutuhan operasional pemerintah, sedangkan kebutuhan untuk operasional MPR, DPR dan Mahkamah Agung serta TNI di ajukan bersamaan pengajuan Pemerintah, Pemerintah yang menghimpun. Sejalan dengan itu, DPR seharusnya sudah mempunyai estimasi pendapatan 5 tahun yang dibreakdown menjadi pertahun berdasarkan pengalaman pendapatan negara tahun-tahun sebelumnya. DPR harus melakukan forcasting pendapatan melalui rencana pembuatan regulasi-regulasi. Setelah diskusi antara DPR dan Pemerintah serta disepakati dengan balance budget misalnya, APBN tersebut diajukan ke MPR untuk disyahkan/disetujui, karena MPR lah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang berasal dari rakyat.
Sejalan dengan itu, DPR seharusnya mempunyai Komisi Pengawas Anggaran yang mempunyai tugas, wewenang dan tanggung jawab mengawasi anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Dewasa ini yang diawasi baru anggaran belanja negara, sedangkan anggaran pendapatan negara belum terjangkau oleh badan pengawas. Oleh karena itu, wajarlah jika selalu dikatakan oleh pemerintah bahwa pendapatan negara masih kurang, karena yang menyatakan adalah pemerintah selaku pengguna anggaran (management tukang cukur). Padahal seharusnya yang menyatakan berapa jumlah pendapatan negara adalah DPR yang mempunyai fungsi anggaran (pasal 20 A ayat 1, awalnya hak budget) dan jumlah anggaran tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran negara / anggaran belanja negara yang akan diajukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, di DPR harus memiliki Panitia Khusus Anggaran bukan hanya anggaran belanja tetapi anggaran pendapatan.
12. BAB VIII A BADAN PEMERIKSA KEUANGAN.Pada awalnya BPK terdapat dalam Bab VIII Hal Keuangan pasal 23 ayat 5 (lima). Dalam amandemen ketiga ditambah Bab VIII A Badan Pemeriksa Keuangan pasal 23 E yang terdiri dari 3 (tiga) ayat, pasal 23 F terdiri dari 2 (dua ayat), pasal 23 G terdiri dari 2 (dua) ayat. Dalam 23 E ayat 1 (satu) disebutkan bahwa BPK bebas dan mandiri serta hasil pemeriksaan tersebut di tindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan atau badan sesuai undang-undang. Perubahan ini tampak seperti meragukan dan atau sekedar mengubah. BPK seharusnya merupakan aparat DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran, bukan bebas dan mandiri. Hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR selaku lembaga yang berhak mengadakan pemeriksaan anggaran. Hasil analisa yang menyimpulkan bahwa obyek pemeriksaan bersalah dan atau melanggar baik secara pidan atau perdata, diserahkan kepada Mahkamah / lembaga yudikative untuk dituntut secara hukum pidana atau perdata. Keputusan pengadilan yang adil diserahkan kepada MPR selaku Kepala Negara untuk mengambil tindakan mengganti kerugian atau masuk penjara. Dalam pasal 23 F ayat 1 (satu) disebutkan bahwa BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan DPRD dan diresmikan oleh Presiden. Sebetulnya apa sih yang dimaksud dengan pasal ini ? Apakah membagi-bagi kekuasaan sesuai teori ilmu politik supaya rata ? Menurut penulis BPK yah dipilih oleh DPR bertanggungjawab kepada DPR diangkat dan diberhentikan oleh DPR. BPK adalah pelaksana fungsi anggaran yang merupakan fungsi utamanya DPR bukan membagi tugas wewenang dan tanggungjawab organisasi kenegaraan secara serampangan. Penulis berfikir sebetulnya semua ini sudah terdapat dalam ilmu hukum, ilmu politik dan ilmu organisasi atau manajemen, ilmu keuangan / akuntansi. Masalahnya adalah awal organisasi yang mengawaki DPR dan BPK mau atau tidak mengetrapkan ilmu-ilmu tersebut secara jujur, adil dan bijaksana membela kebenaran bukan membela klien, sehingga tidak mendapat tuduhan melacurkan disiplin ilmu yang dipelajari. Pelacuran cukup untuk sebutan manusia yang bekerja dengan menggunakan indera alat kelamin saja, jangan dibawa ke disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi apalagi agama. Mekanisme dan tata kerja Badan Pemeriksaan Keuangan dan DPR, sepertinya semakin semrawut. DPR menginterogasi pemerintah secara langsung dengan bertopeng hak interpelasi dan hak fungsi anggaran. Dengan demikian tampak kehidupan ketata negaraan bangsa kita, bangsa Indonesia sejak jaman reformasi semakin tidak sehat.
13. BAB IX KEKUASAAN KEHAKIMANPada awalnya Bab IX Kekuasaan Kehakiman hanya dua pasal yakni pasal 24 terdiri dari 2 (dua) ayat dan pasal 25 tidak ada ayatnya. Pada perubahan ketiga pasal 24 ayat diubah dan ditambah satu ayat sehingga menjadi 3 (tiga) ayat. Kemudian ditambah pasal 24 A terdiri dari 5 (lima) ayat, pasal 24 B terdiri dari 4 (empat) ayat dan pasal 24 C terdiri dari 6 (enam) ayat serta pasal 25 tetap. Selain itu juga Bab IX ditambah Bab IX A tentang Wilayah Negara pasal 25 A menegaskan masalah wilayah dan batas-batas yang ditetapkan dengan undang-undang.
Kekuasaan kehakiman sejajar dengan eksekutive dan legislative serta mandiri dalam hal tugas, wewenang dan tanggungjawab penyelenggaraan peradilan dan penegakkan hukum / law enforcement. Organisasi kekuasaan kehakiman diwadahi dalam Mahkamah Agung yang mempunyai tugas, wewenang dan tanggungjawab penyelenggaran peradilan dan penegakan hukum yang transparans, adil dan memihak kepada yang benar. Yang benar harus dibenarkan dan yang salah harus disalahkan dan dikenakan sangsi hukuman. Jangan sampai dibolak-balik yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Para abdi hukum harus bangga jika dia membela kebenaran bukan bangga jika dia menang dalam peradilan, walaupun kemenangannya membela yang salah. Oleh karena itu anggota Hakim dan Jaksa khususnya Hakim dan Jaksa di tingkat Negara harus dipilih melalui pemilihan umum, sehingga mempunyai legitimasi yang kuat sejajar dengan eksekutive dan legislative. Mekanisme seperti inilah yang dapat menjamin lembaga Yudikative dapat mandiri namun tetap dibawah kekuasaan Kepala Negara/MPR. Namun sementara ini norma kebanggaan sebagian para abdi hukum mulai tererosi dan menggeser kearah kekuatan negatif, sebagai contoh kasus-kasus yang ditayangkan di media elektronik.
14. BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK.Awalnya Warga Negara diatur dalam Bab X tentang Warga Negara mulai dari pasal 26 sampai dengan pasal 28, perubahan kedua tahun 2000 judul warga negara ditambah Penduduk sehingga berbunyi Warga Negara dan Penduduk serta ayat pasal ditambah. Disamping itu ada penambahan Bab X A yakni tentang Hak Azasi Manusia pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J (sepuluh pasal). Dari sepuluh pasal tersebut, delapan pasal mengatur hak warga negara dan penduduk dan dua pasal mencantumkan kewajiban. Hal ini menunjukan bahwa rakyat diberi hak yang banyak tetapi tidak seimbang dengan kewajibannya. Padahal seharusnya ada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Pengaturan warga negara dalam bab ini, baik ayat awal maupun amandemennya masih terlalu global. Hak dan Kewajiban warga negara dan Penduduk baru disebut dalam hal pembelaan negara. Sebaiknya hak dan kewajiban Warga Negara dan Penduduk meliputi hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan sistem ekonomi, dalam penyelenggaraan sistem sosial budaya dan dalam penyelenggaraan sistem kehidupan pertahanan (bela negara), penyelenggaraan sistem pergaulan lokal,regional dan internasional. Misalnya dalam penyelenggaraan sistem ekonomi dinyatakan kewajiban warga negara untuk membayar pajak, menginvestasikan modal dalam negara Republik Indonesia dan sebagainya yang nantinya dijabarkan dalam undang-undang. Pada penyelenggaraan sistem sosial budaya perlu diatur hak dan kewajiban warga negara dan penduduk untuk berdiplin (disiplin nasional), memeluk agama dan atau kepercayaan, menjaga persatuan dan kesatuan dan sebagainya.
15. BAB X A HAK ASASI MANUSIA.Pada awalnya Bab X A Hak Asasi Manusia tidak ada. Pada perubahan kedua, ditambah Bab X A dengan pasal 28 A tidak ada ayat, pasal, pasal 28 B terdiri dari 2 (dua) ayat, pasal 28 C terdiri dari 2 (dua) ayat, pasal 28 D terdiri dari 4 (empat) ayat, pasal 28 E terdiri dari 3 (tiga) ayat, pasal 28 F tidak ada ayat, pasal 28 G terdiri dari 2 (dua) ayat, pasal 28 H terdiri dari 4 (empat) ayat, pasal 28 I terdiri dari 5 (lima) ayat dan pasal 28 J terdiri dari 2 (dua) ayat.Dari deretan pasal dan ayat sebanyak itu, penulis hanya membaca kewajiban pada pasal 28 J yang terdiri dari 2 (dua) ayat. Jika dibanding dengan hak dari pasal 28 B sampai dengan pasal 28 I terdapat 23 hak. Kondisi semacam ini tampak penambahan hak terlalu berlebihan tanpa dikuti penambahan kewajiban. Kewajiban di bidang ekonomi, kewajiban di bidang sosial budaya, kewajiban di bidang agma dan kewajiban lain sebagai warga negara dan penduduk yang telah diberi hak sejumlah 24 macam. Disini tampak penyusunan perubahan kedua UUD 1945 hanya berdasarkan emosional bahwa jaman Orde Baru Hak Asasi Manusia ditekan, sekarang dilepas tanpa menyerasikan dengan pemahaman makna tersirat dalam UUD 1945 khususnya kewajiban manusia hidup.
16. BAB XI AGAMAAgama diatur dalam Bab XI pasal 29 yang terdiri dari 2 ayat, dan tidak ada amandemen.
Apakah sudah dianggap lengkap ? Berbagai agama harus diwadahi sebagai jelmaan negara pluralistik dan rakyat yang majemuk serta sebagai penjabaran sila ke satu Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa. Membahas agama dan kepercayaan, pasti rame dan panas tetapi harus dituntaskan, bukan malah dibiarkan untuk menjadi bom waktu dikemudian hari. Masalah agama harus diatur secara tegas dan jelas dalam undang-undang Dasar.
17. BAB XII PERTAHANAN NEGARAPada awalnya Pertahanan Negara diatur dalam Bab XII pasal 30 yang terdiri dari 2 ayat. Perubahan tahun 2000 judul bab diubah menjadi Pertahanan dan Keamanan Negara, dan ayatnya ditambah menjadi 5 ayat.
Substansi pasal ini adalah mewajibkan tiap-tiap warga negara untuk ikut dalam usaha pertahanan dan kemanan negara. Sejalan dengan itu juga dalam ayat 2 menegaskan bahwa sistem pertahanan dan kemanan negara menggunakan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan Utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Namun ayat 2 pasal 30 ini tidak menyebutkan pengaturan lebih lanjut dengan undang-undang.Yang disebut diatur dengan undang-undang hanya susunan dan kedudukan TNI dan Polri (ayat 5). Hal ini menimbulkan ayat 2 (dua) tidak aplikatif, buktinya sampai sekarang undang-undang tentang komponen pendukung untuk melengkapi undang-undang no 34 tahun 2004 tentang TNI yang merupakan komponen utama, belum juga dibahas. Padahal pertahanan dan keamanan negara merupakan salah satu sisi dari double face in one coin dari kebutuhan manusia. Para anggota DPR, tidak pernah berfikir bahwa pertahanan dan keamanan negara memerlukan pengaturan komponen pendukung, yang mengatur hak dan kewajiban warga negara dalam pembelaan negara. Yang terfikir saat itu hanyalah hak-hak manusia yang merasa telah ditekan pada jaman Orde Baru.
Sejalan dengan itu dalam UU no 34 tahun 2004, pasal 5 menyatakan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, sedangkan pada pasal 10 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Kedua ayat tersebut memperkuat kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara, sehingga semakin kuat kedudukan Presiden sebagai seorang Diktator. Semua aparatur negara termasuk TNI dibawah Presiden. Muncul pertanyaan, jika Presiden menggunakan kekuasaannya sebagai Kepala Negara lantas siapa yang dapat mengerem Presiden jika Presiden melampaui batas kekuasaannya ? Apakah Majelis ?. Memang sesuai UUD 1945, Majelis, karena Presiden Neben kepada Majelis. Pertanyaan berikutnya apakah Majelis mempunyai perangkat jika Presiden membangkang ?, Presiden mempunyai TNI, Presiden membawahi semua aparatur negara ?, sedangkan Majelis selaku pemegang kekuasaan tertinggi negara yang merupakan penjelmaan rakyat, tidak mempunyai aksesoris untuk mendukung kekuasaannya. Disinilah kelemahan pasal-pasal UUD 1945 yang memerlukan perubahan.
18. BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANPada awalnya Bab XIII memuat tentang Pendidikan terdiri dari, pasal 31 terdiri dari 2 (dua) ayat dan pasal 32 tanpa ayat. Bab XIII ini ditambah menjadi Pendidikan dan Kebudayaan. Pada perubnahan ke empat pasal 31 tentang pendidikan diubah menjadi 5 (lima) ayat dan pasal 32 tentang kebudayaan terdiri dari 2 (dua) pasal pasal.
Penulis ingin menyoroti pasal 31 ayat 1 dan ayat 2 serta ayat 4. Disini dijelaskan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (ayat 1) dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai serta negara mempriotaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran dan belanja negara serta anggaran dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Amanat ini harus dilaksanakan oleh eksekutive dan tidak ditawar-tawar lagi. Mengapa pendidikan dasar yang merupakan kewajiban warga negara untuk melaksanakan dan pemerintah wajib membiayainya tidak/belum terlaksana. Dan tidak pernah terdengar ada solusinya ?
Pendidikan dasar wajib namun perlu disadari bersama bahwa pendidikan tinggi bukan merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara/penduduk. Jika perguruan tinggi yang dikejar dalam mengalokasikan anggaran maka akan terjadi pengangguran terselubung dan tidak kondusif dalam kehidupan masyarakat.
19. BAB XIV PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIALPada awalnya Kesejahteraan Sosial diatur dalam Bab XIV pasal 33 dan pasal 34
Perubahan ke empat Tanggal 10 Agustus tahun 2002 Bab IV diubah menjadi Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Pasal 33 ditambah 2 ayat sehingga menjadi 5 ayat dan pasal 34 ditambah 4 ayat yang semula tanpa ayat.
Dalam ayat 1 Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan.
Jika pasal ini tidak diamandemen berarti pasal tersebut harus diaplikasikan dalam undang-undang dan aturan lainnya. Bentuk usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan adalah koperasi. Berarti pelaku ekonomi di negara Indonesia seharusnya semua bentuk Koperasi. Kenyataan sekarang ada 3 pelaku ekonomi yakni BUMN, Koperasi dan Swasta. BUMN dan Koperasi kalah bersaing dengan swasta. Sejalan dengan itu, setelah reformasi ada gerakan swastanisasi BUMN namun salah arah dan salah sasaran. BUMN sebetulnya cermin/jabaran ayat 2 dan ayat 3 pasal 33 UUD 1945. Pengelolaan BUMN dan Koperasi mengalami mismanajemen karena pemilihan awak organisasi yang tidak tepat, disamping mekanisme pembinaan BUMN dan Koperasi tidak tepat pula. Prinsip-prinsip pengelolaan BUMN dan Koperasi seharusnya sama dengan prinsip-prinsip pengelolaan badan usaha swasta, sehingga mereka bersaing secara sehat. BUMN dan Koperasi milik bersama, akhirnya Pengurus BUMN dan Koperasi lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya dari pada memikirkan kemajuan badan usahanya. Sejalan dengan itu philosophi badan usaha di Indonesia didalam bidang usahanya, menitik beratkan pada pencarian untung sebesar-besarmya (maximazation profit making) bukan gaining stockholder’s value. Yang seharusnya setiap manager atau pimpinan badan usaha apakah swasta, BUMN atau Koperasi mempunyai kewajiban untuk menaikan harga saham / simpanan sukarela bukan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya (profit making).
Ayat 2 Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Ayat 3 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara an dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dikuasai negara artinya saham mayoritas dimiliki oleh negara, pengelolaannya sesuai badan usaha swasta (private company), bukan rame-rame BUMN dibagi dan dijual. Privatisasi maksudnya adalah BUMN dikelola sesuai mekanisme pengelolaan badan swasta ( private company dengan good cooperate governance ). Salah paham terhadap makna privatisasi. Akibatnya aset BUMN habis terjual dan habis dibagi.
Ayat 4 pada perubahan pasal 33 :” Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional. Apakah sudah ada konsepsi, teori atau design demokrasi ekonomi, seperti apa ? Demokrasi ekonomi apa sistem pasar bebas ? apa sistem olygopoly atau sistem monopoli atau sistem gado-gado, belum jelas. Dengan demikian aplikasi ayat tersebut kedalam undang-undang dan peraturan penjabaran lainnya relatif sulit dilaksanakan. Akibatnya sistem ekonomi negara berjalan alami sesuai dengan perkembangannya tanpa ada suatu “ economic engineering “/rekayasa ekonomi negara dari para ahli ekonomi yang duduk di DPR atau di Pemerintah atau pakar di Perguruan Tinggi.
Aplikasi ayat 1 sampai ayat 4 akhirnya ambugitas dan para aparatur negara membiarkan berjalan seperti proses alami suatu pertumbuhan, dan akan tumbuh liar, siapa yang kuat itulah yang menang, karena ini merupakan hukum alam ciptaan Tuhan. Jika permainan golf, pemain bagus bermain dengan pemain yang baru belajar, diatur dengan handicap. Seharusnya sistem ekonomipun diatur demikian, sehingga si kuat dan silemah dalam kontek berpasangan saling bisa bermain dengan cantik dalam suatu permainan sistem ekonomi yang baik, baik bagi mayoritas rakyat bukan baik bagi segelintir manusia.
20. BAB XV BENDERA, BAHASA DAN LAMBANG NEGARA SERTA LAGU KEBANGSAAN.