Wednesday, April 8, 2009

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIPERLUKAN

Kondisi aparatur negara yang tidak jelas mengacu ke sistem mana, menimbulkan mekanisme kerja aparatur negara berantakan. Untuk mengatasi hal ini, tentunya kita harus yakin tentang peninggalan para pendahulu pendiri Republik ini. Teori ilmu politik mengajarkan kepada kita, bahwa sistem pemerintahan ada sistem Kabinet Presidentiil dan Sistem Kabinet Perlementer. Sejarah bangsa kita, telah mencoba dua sistem tersebut. Pertama menggunakan sistem Kabinet Presidentiil, kemudian kelihatan tidak sesuai, kemudian diubah menjadi Sistem Kabinet Parlementer kemudian diubah lagi menjadi Sistem Kabinet Presidenstiil. Pada masa Orde Lama, tatanan kenegaraan menggunakan sistem yang berganti-ganti, maklum negara baru merdeka sehingga mencoba sistem-sistem yang barangkali cocok, try and error. Pada masa Orde Baru tatanan kenegaraan menggunakan sistem Pancasila dan UUD 1945. Teorinya akan menggunakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun pada prakteknya menggunakan otokrasi dengan penampakan sistem Presidensiil. Sekarang, lebih tidak jelas lagi, penampakan sistem presidensiil, namun nyatanya menggunakan sistem kabinet gado-gado yang tidak tegas / ambiguitas, parlementer dan presidensiil dengan berkedok sistem Pancasila dan UUD 1945. Sementara itu, Pancasila dan UUD 1945 disimpan dan digantung sebagai hiasan dinding dan pemenuh file di flas dish komputer, walaupun slogannya kita menggunakan dasar Pancasial dan UUD 1945.

Kita perlu meletakkan dasar-dasar sistem yang jelas, tegas,konsisten. Jika kita konsisten menggunakan Pancasila dan UUD 1945 dengan segala amandemennya, kita harus mengaplikasikan secara murni dan konsekwen. Pada jaman Orde Baru, dengan semboyan akan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penataran demi penataran tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) menggaung di mana-mana. Namun yang terjadi dalam aplikasi pemerintahan Orde Baru setahap demi setahap tetapi pasti mulai menyimpang. Penyimpangan Orde Baru terhadap Pancasila dan UUD 1945, dinilai oleh generasi penerus /kelompok reformis sebagai ketidak cocokan Pancasila dan UUD 1945 sebagai Dasar dan UUD ketata negaraan NKRI. Penilaian ini sebetulnya tidak tepat. Rasa antipati kepada subyek pemerintah dihantamkan kepada obyeknya, sehingga obyek yang diberangus. Pelaku reformasi setelah memegang kekuasaan, buru-buru memberangus P4 yang sebetulnya bukan konsepsi P4 yang tidak benar melainkan aplikasi pengamalannya yang tidak tepat dan menyimpang. Terlanjur salah, sampai sekarang belum ada yang membetulkan, semua pihak merasa berhak meluruskan arah reformasi namun tidak tahu bagaimana caranya. Oleh karena itulah, arah reformasi sudah sepuluh tahun tetap tidak jelas, karena si pelaku reformasi hanyalah boneka dari suatu sistem raksasa yang telah menumbangkan kekuasaan Presiden Suharto. Ibarat kumpulan arsitek bangunan yang telah merobohkan bangunan tetapi ternyata arsitek tersebut tidak membawa blue print bagunan yang akan didirikan. Jadi yang ada sekarang adalah membangun atau menata rumah yang sudah terlanjur dibongkar/ diacak-acak tanpa mempunyai denah atau konsep yang jelas, tetapi berdasarkan try and error saja dan penulis hanya berharap mudah-mudahan try and succses. Reformasi total di segala bidang akhirnya menghasilkan keterpurukan total di segala bidang, sampai sekarang. Siapakah yang menyadari dan akan memimpin meluruskan kembali arah reformasi bangsa kita ? Arena pemilu 2009 merupakan peluang yang baik untuk mencari pemimpin yang mampu menata negara Indonesia untuk rakyat Indonesia, untuk warga negara Indonesia.

Oleh karena itulah, wahai generasi muda penerus bangsa, bangkit-bangkitlah dan bawalah bangsamu kearah yang sejahtera, adil, makmur, aman dan demokratis sehingga bangsamu ini tidak punah dikemudian abad. Bukan hanya berebut di wahana politik unsich, melainkan bergelutlah dengan ilmu pengetahuan dan tekonologi untuk membawa bangsamu agar tidak punah, sambil membenahi dan membuat design /rancanganbangun bangsa yang sudah terlanjur berantakan. Perlu tangan besi untuk menegakkan hukum dan peraturan perundangan, perlu disiplin yang tegas ? disiplin nasional. Kita, walaupun berada diera demokrasi cacat dan transparansi, tetapi bukan dalam era semau sendiri. Bangsa kita, bangsa yang tercinta, yang masih penuh dengan rintihan dan tangisan anak manusia, jangan sampai dibiarkan punah diterjang gelombang globalisasi, dan arus teknologi, tetapi bermainlah dalam hiruk pikuknya globasisasi dan pesatnya perkembangan teknologi agar menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa yang telah dapat menikmati kesenangan dan keindahan dunia fana tanpa melupakan persiapan menghadapi alam baqa.

Bangsa kita akan punah layaknya bangsa Indian di Amerika, Aborigin di Australia, Tumasik ditelan Singa Pura, Betawi ditelan oleh gelora pendatang, jika elit bangsa, generasi penerus bangsa dan para cendekia serta ulama tidak memikirkan bangsanya, dan hanya bertopang dagu bersilang tangan sambil menonton derasnya arus globalisasi serta memikir diri pribadi dan kelompoknya.

Oleh karena itulah, wahai para elit politik dan elit pemimpin bangsa serta elit lainnya, tatalah bangsa Indonesia dengan mengacu kepada sunatullah, artinya menggunakan landasan hukum alam ciptaan Tuhan dan hukum dunia buatan manusia. Kedua hal itu harus dipahami hakikinya kemudian ditata secara serasi, selaras dan seimbang bagi kepentingan semua kelompok yang ada di negara kita ini. Bangsa, negara dan masyarakat kita, bercita-cita mencapai masyarakat, bangsa dan negara yang sejahtera, adil, makmur, aman dan demokratis. Dari deretan itu, sebetulnya yang diperlukan oleh rakyat banyak adalah sejahtera, makmur, aman, adil dan mencapainya dengan cara-cara yang demokratis. Namun manusia sering terjebak pada pergulatan masalah demokrasi dan agama, padahal demokrasi dan agama hanyalah wahana untuk memperoleh kekuasaan dalam mencapai kesejahteraan, kemakmuran, keadilan dan keamanan. Apapun type demokrasi dan agama yang digunakan sebaiknya kita tetap kosentrasi kepada pencapaian tujuan / cita-cita. Demokrasi dan agama di tiap bangsa atau negara mengetrapkan demokrasi dan agama sesuai dengan persepsinya. Demokrasi dan agama ala Amerika, demokrasi dan agama ala Eropah, demokrasi dan agama ala Asia, masing-masing mempunyai perbedaan, disamping perasamaan yakni rakyat ingin sejahtera, makmur, aman, adil dan kekuasaan tertinggi negara diserahkan kepada kelompok yang mewakili rakyat bukan kepada perorangan serta pengakuan atas keberadaan Tuhan yang Tunggal. Yang perlu diwaspadai adalah kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, tapi pada prakteknya berada pada tangan satu orang. Agama tauhid pada prakteknya ingin memaksakan agar satu agama. Inilah yang tidak benar. Seperti di negara kita, sistem negara dan pemerintah menggunakan sistem demokrasi dan agama seperti yang tercantun dalam Pancasila dan UUD 1945. Sila ke 1 Ke Tuhanan Yang Maha Esa dan sila ke 2 Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, mengisyaratkan bahwa kekuasaan tertinggi negara berada ditangan Majelas Permusyawaratan Rakyat /MPR. MPR merupakan lembaga yang anggotanya seharusnya dipilih oleh rakyat, dan berkuasa atas keputusan tertinggi kekuasaan negara. Namun dalam praktek karena kita formal menggunakan demokrasi Pancasila namun kenyataan melirik demokrasi ala Amerika dimana Presiden merangkap sebagai Kepala Negara, langsung dijiplak bahwa Presiden merangkap sebagai Kepala Negara. Pada saat kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara apa bedanya dengan Kaisar, karena Kepala Negara membawahi aparatur negara yang terdiri dari Eksekutive, Legislative dan Yudikative bahkan TNI serta Majelispun ikut dibawahnya, walaupun dalam penjelasan UUD 19456 sudah gamblang bahwa Presiden tidak Neben melainkan Untergeodernet kepada Majelis. Sejalan dengan itu dijelaskan juga bahwa kekuasaan Presiden tidak tak terbatas, apakah sebagai Kepala Pemerintahan atau sebagai Kepala Negara. Tetapi kenyataan menunjukan bahwa sejak jaman Presiden Sukarno dan Suharto, Presiden menjadi Kaisar yang titahnya tidak dapat dibantah oleh siapapun. Oleh karena itu, kita harus mengacu kepada Pancasila dan UUD 1945 dengan segala amandemen atau perbaikan pelaksanaannya / pengamalannya agar kekuasaan tertinggi negara tetap ditangan group disicion makers bukan pada single desicion makaer.