Dalam tata ekonomi negara kita juga terjadi distorsi yang signifikan. Semua tindakan pembenahan ekonomi dengan alasan untuk kepentingan rakyat. Tetapi nyatanya rakyatlah yang menjadi korban. Pembenahan/ reformasi ekonomi sebetulnya untuk siapa ? Apa kita akan menganut pasar bebas / free fight competition ? Oligopoly ? Monopoly ? Bagi negara maju yang telah mapan dalam penguasaan teknologi, tentunya mereka menghendaki pasar bebas, karena mereka berani bersaing dengan mudah. Bagi bangsa yang lemah dan miskin, untuk bersaing secara bebas pasti kedodoran. Lihat dalam permainan gentleman golf. Handicap tinggi dimainkan dengan handicap rendah tanpa menghitung handycap, tentu si handycap tinggi akan hancur. Begitu pula dalam sistem ekonomi jika kita mengikuti kehendak negara maju untuk menganut pasar bebas sekedar mendapat pinjaman yah kita akan hancur ditelan mereka yang mempunyai kemampuan bersaing dengan kuat. Terus, lantas bagaimana solusinya ?
Jaman Orde Baru, ekonomi didesign dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (Logi ke 2 dari Tri Logi Pembangunan : Pertumbuhan Ekonomi yang cukup tinggi). Rekayasa ekonomi, dibuat konsepsi dari negara pertanian secara bertahap akan dijadikan negara industri dan dapat tinggal landas. Begitulah ceritera para ekonom lulusan Berkley USA yang membantu Presiden Suharto dalam mendeign sistem ekonomi Indonesia. Design tersebut sebenarnya berdasarkan ilmu ekonomi dari USA, ekonomi liberal/ free fight competiton tetapi direkayasa seolah–olah ekonomi Pancasila yang berdasarkan pasal 30 UUD 1945 dengan design mendirikan industri secara bertahap dari pengolahan bahan baku sampai pengolahan bahan jadi untuk eksport. Rekayasa seperti itu, melupakan hal yang hakiki bahwa tidak ada manusia memelihara anak macan untuk menerkam si manusia itu sendiri di kemudian hari. Apa betul kita akan dibimbing untuk menyaingi negara industri yang telah mapan ? Nonsense. Jika kita ingin menyaingi negara industri, kita harus dapat merebut teknologi sendiri dan atau menemukan teknologi baru sendiri, bukan minta diajari oleh manusia yang akan disaingi. Jika hal ini kita lakukan, maka kita akan diajari ilmu yang telah kadaluwarsa (absolete) dan tidak pernah diajari ilmu yang baru hasil penemuan mereka yang terbaru. Oleh karenanya, kita selalu ketinggalan walaupun perasaan kita sudah hebat belajar teknologi baru. Baru bagi kita, tetapi absolete bagi mereka, dan mereka memasarkan produk di pasar bebas berdasarkan teknologi baru yang mereka kuasai. Terus bagaimana strategi untuk dapat meningkatakan pertumbuhan ekonomi ?
Kita harus berparner dengan negara yang telah maju. Berparner dalam membuat produk sambil secara diam-diam mempelajari teknologinya. Jika kita akan menyaingi mereka, kita tidak perlu memproklamasikan bahwa kita akan menyaingi guru kita. Otomatis kita akan dipites. Cara seperti ini sudah dikerjakan oleh negara berkembang yang telah maju seperti Jepang, Korea, Taiwan, Cina dan sebentar lagi Malaysia, Singapura dan Vietnam. Sejalan dengan itu kita harus meningkatkan kualitas produk asli bangsa kita / pertanian / agro industri, perkayuan, perikanan, pertambangan. Perindustrian hanya terbatas pada industri yang mensuplay komponen produk dari industri bangsa yang telah maju atau industri yang mngolah bahan baku yang ada di negara kita. Jika kita mengembangkan pemahaman ini, akan dipelihara dan dibina dan dapat bekerjasama dengan bangsa yang telah maju secara saling menguntungkan. Kita tidak dapat berbuat banyak jika kita lemah. Tanpa menyadari bahwa sementara ini kita masih lemah dan miskin, kita arogan, congkak dan takabur dan memandang diri kita sendiri bangsaku ini, merasa sejajar dengan bangsa lain yang telah maju baik kekuatan maupun kemampuan. Jika kita menganalisis diri kita / negara kita dengan metode SWOT maka :
* Strengt : Kita masih sangat lemah dan miskin, kekayaan alam berlimpah, namun masih digunakan oleh sekelompok penguasa untuk kepentingan diri sendiri beserta kelompoknya, sehingga negara tetap miskin sedangkan para pelaku otoritas dan birokrasi beserta kroninya dapat berfoya-foya menikmati kekayaan negara.
Angkatan Bersenjata lemah, personel minim jika dibandingkan dengan luas wilayah yang harus dipertahankan dan jumlah penduduk yang harus dilindungi, persenjataan minim, disposisi mayoritas di pulau Jawa . Kemampuan teknologi militer dan teknologi non militer masih sangat rendah sehingga tidak mampu menghasilkan sistem senjata sendiri yang canggih, dan produk unggulan yang dapat bersaing di pasar bebas. Rayat golongan elit politik, elit cendekianwan, elit agama, elit ekonomi, elit militer mayoritas sombong, padahal belum sembodo, artinya kita belum kuat tetapi merasa kuat, sehingga berani menentang negara kuat dan tidak mau bekerjasama dengan negara kuat. Kita perlu bercermin, mengacu kepada perang Irak. Sadam Husein sombong, Amerika menuduh ada senjata nuklir di Irak padahal alasan sesungguhnya adalah akibat ekspor minyak Irak minta dibayar dengan Uero. Amerika marah, karena bisa-bisa dollar dia menurun atau tidak laku. Memang Amerika juga sombong, tetapi mereka sembodo, artinya mempunyai kekuatan yang dapat diandalkan untuk menompang kesombongannya. Namun jika manusia sombong dan tidak mempunyai kekuatan untuk menjamin kesombongannya seperti kesombongan bangsa kita, hasilnya akan hancur, dihancurkan oleh manusia yang tidak suka dengan kesombongan kita. Analisa kemampuan sendiri selalu dibesar-besarkan bahwa negara kita negara besar. Rakyat besar dan negara luas beserta kekayaannya, tanpa diikuti kemampuan rakyat yang memadai. Jumlah rakyat yang besar tanpa dikuti kemampuan yang handal, maka rakyat tadi hanyalah beban yang memberatkan. Wilayah yang luas dan banyak sumber alam termasuk ikan, hutan dan sumber daya mineral hanya menjadi incaran negara lain untuk mencuri dan merampok kekayaan bila perlu menguasai sekalian, seperti lepasnya Timor Timur, Sipadan dan Ligitan dan entah manalagi berikutnya mungkin Batam, salah satu Kepaluan Riau, Papua ?. Rakyat dalam jumlah besar disertai segala kemampuan, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemampuan penelitian, kemampuan bekerja dan hidup dengan disiplin , kemampuan berdiplomasi, kemampuan mawas diri, baru merupakan potensi dan atau kekuatan yang efektif untuk meningkatkan taraf kehidupan bangsa dan dapat menompang kesombongan.
** Weakness. Bangsa kita sementara ini tidak mau tahu dengan kelemahan sendiri, masih merasa kuat dan dapat melawan negara kuat yang sudah maju / super power. Kita selalu mengambil sikap konfrontatif dengan negara yang tidak sama pemahamannya dengan bangsa kita. Kita menuduh mereka dan memberi julukan bahwa mereka : kafir, arogan, kapitalis, imperalis, tanpa menyadari justru tetangga kita yang tidak memiliki ruang yang cukup untuk kehidupan rakyatnya merupakan ancaman yang nyata dan potensial yang secara sembunyi-sembunyi menyusupkan taktik dan strategi agar bisa menguasai negara kita tanpa harus mengalahkan secara pisik / menang tanpa ngasorake, melalui penguasaan aspek ekonomi dan aspek sosial budaya. Pemerintah kita mengijinkan bangsa lain untuk membeli tanah, rumah, perusahaan secara perorangan atau kelompok, sehingga cepat atau lambat semua tanah, rumah, perusahaan di negara kita, akan terbeli oleh bangsa lain yang mempunyai kemampuan ekonomi tinggi. Kita akan terdesak ke gunung dan menjadi buruh di negara sendiri dan akhirnya setahap demi setahap tapi pasti, akan punah dengan sendirinya tanpa harus dibunuh atau diperangi, laksana punahnya suku Negrito di tanah Jawa, suku Aborigin di Australia, suku Indian di Amerika, suku Samud, suku Ad di Timur Tengah.. Sejarah telah membuktikan, kedatangan VOC Belanda, awalnya sopan santun berdagang, membeli tanah, setelah kuat mereka berubah untuk menguasai dan menduduki negara kita dengan kekuatan senjata dan pemaksaan kehendak. Tumasik awalnya adalah wilayah Nusantara Majapahit, sekarang menjadi Singapura, Betawi menjadi Jakarta, penduduk Betawi terusir dengan sendirinya secara syah dan alami, karena mereka menjual tanah pekarangannya kepada pendatang yang lebih kaya. Mereka mencari tanah dipinggiran kota, kemudian pada saat perluasan kota, anak cucu mereka menjual lagi dan pindah kepinggir kota begitu seterusnya. Dengan kata lain kita terlena dengan buaian negara kaya, negara kuat, negara besar tanpa memahami ucapan itu hanya slogan yang dapat menjerumuskan. Akibat perasaan yang demikian, kita tidak mau membina hubungan yang baik dengan negara tetangga dan negara adidaya yang berbeda kulit, berbeda agama, berbeda makanannya, berbeda bahasa dan perbedaan-perbedaan lainnya. Kita hanya mau membina persahabatan dengan negara, bangsa yang seagama. Selama kita masih mempunyai paham seperti ini, kita akan tersingkir dari pergaulan dunia, sedikit demi sedikit dikuasai melalui aspek ekonomi dan pada akhirnya bangsa kita, hanya menjadi bacaan sejarah yang dipelajari oleh anak cucu bahwa dulu pernah ada yang namannya bangsa Indonesia. Negara Indonesia memang masih eksis, namun penghuni dan rakyatnya telah berubah dari rakyat berkulit sawo matang, menjadi rakyat berkulit kuning, berkulit putih dan berkulit hitam sebagai warga negara Indonesia. Apakah itu yang dikendaki oleh para pemimpin dan elit bangsa yang mengaku memiliki nasionalisme, patriotisme yang tinggi?
Jika kita merasa tidak puas dan mengambil tindakan radikal dengan teror bom, mengadakan kerusuhan masa dengan alasan etnis, merusak hasil pembangunan, kita malah terjebak kedalam tindakan kekerasan dan melanggar hukum yang akhirnya hanya mempercepat kepunahan saja / kontra produktif.
Bagaimana cara mengatasi agar bangsa kita tidak punah. Rakyat yang diberi kesempatan untuk mengatur /pemerintah, membuat tata aturan yang bijak yang memandang jauh kedepan untuk bangsanya bukan berdasarkan pertimbangan sesaat. Tanah kita bukan dijual habis, namun disewakan dalam kurun waktu tertentu, bukan seperti sekarang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Pakai (HGP), Hak Guna Usaha (HGU) dapat diperpanjang semau pengguna atas ijin penguasa, sehingga sama saja dengan penjualan habis. Dewasa ini masing-masing yang berkuasa berlomba membuat aturan yang tidak memperhatikan kemungkinan di masa depan dalam kurun waktu 30 sampai 100 tahun, hanya untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
*** Opportunity. Peluang, kesempatan untuk memperbaiki tingkat kehidupan bangsa, telah terbuka, namun belum dapat dibaca oleh para penguasa dan pengusaha. Sumber daya alam yang berlimpah/panjang punjung pasir wukir loh jinawi ( apa hanya kata-kata dalang saja tanpa bukti ? ), rakyat yang banyak, merupakan peluang yang dapat didayagunakan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Negara dikatakan panjang–punjung pasir wukir loh jinawi tetapi nyatanya negara miskin ? berarti ada mismanajemen negara. Jika dikatakan demikian para elit pemerintah akan berang dengan mengatakan : “ Emangnya gue bodoh ? “. Apakah mereka smart atau folish, fool, kenyataan mengatur negara sejak dahulu kala dari tahun 1945 sampai sekarang bangsa kita ini masih digolongkan bangsa dan negara miskin, negara berkembang, negara terkacau, negara bar-bar, negara teoris, negara terbanyak korupsinya, negara apa lagi sebutan yang tidak populer, selalu ditujukan kepada bangsa dan negara kita. Kita prihatin.... peluang dan kesempatan yang ada belum dapat diekspoitir, baru pada tingkat dibiarkan/ dipelihara saja tumbuh dan berkembang secara alami sambil dijual kepada yang mengincar negara kita. Ada yang mengatakan :” Hujan saja lama–kelamaan akan berhenti, tidak perlu diusahakan dengan pawang atau ahli menghentikan hujan “, Begitulah ucapan beberapa orang yang tidak mau tahu dengan kehidupan bangsanya. Orang semacam ini jika terpilih menjadi pelaku pemerintah apapun kedudukannya, mereka tidak akan dapat memberikan kontribusi yang positip dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Mereka hanyalah kaum opportunitis belaka. Bila negara ini dipegang oleh kaum opportunitis yang berkedok pahlawan, alangkah bahayanya bangsa kita terancam oleh kepunahan ... apakah proses alam ....
*** Tread. Ancaman bangsa kita apa ? Yang merumuskan ancaman dalam kurun waktu jangka pendek (1 tahun), jangka menegah (5 tahun dan bahkan jangka panjang ( 25 tahun) baru dilingkungan TNI, dalam bentuk ancaman militer. Pada waktu era Sosial Politik masih merupakan Dwi Fungsi ABRI, ancaman nonmiliter juga dirumuskan. Namun karena bukan bidang militer, TNI merumuskan ancaman ekonomi, politik, sosial budaya, hasil rumusan tidak akurat, dan hanya untuk dokumentasi strategis saja tanpa ada upaya memasyarakatkan rumusan tersebut. Dewasa ini dalam buku putih Dephan juga dirumuskan ancaman non militer, namun masih tingkat wacana. Justru ancaman nyata yang sudah menyerang kehidupan bangsa kita tidak disadari, sehingga tidak terumuskan dalam dokumen buku putih tersebut. Konsep ancaman yang dirumuskan TNI Angkatan Darat sebagai Perang Modern malah disikapai secara skeptis. Ancaman apakah itu ?
Ancaman pada aspek ekonomi. Bangsa kita sudah terjajah, ekonomi sudah dikuasai oleh bangsa lain, bangsa sendiri menjadi penonton dan pasar. Akibatnya yang dapat menikmati kesenangan hidup adalah bangsa lain, bangsa kita sekedar menjadi buruh dan pengawai serta pengawal mereka. Sejalan dengan itu, ancaman non militer lainnya yang masih berkembang dalam manusia Indonesia adalah sikap perilaku manusia Indonesia yang belum disiplin, masih memiliki paham monolistik yang militant, arogan, malas, belum tekun dan ingin cepat memperoleh kekayaan dalam waktu yang singkat. Inilah ancaman bangsa kita yang sekarang ada. (Mohon maaf penulis tidak menggunakan rumusan ancaman non militer versi buku putih Dephan). Bagaimana mengatasi ancaman tersebut ? Ancaman tidak hanya diterapi dengan berteori ekonomi mikro dan makro, bukan diatasi dengan diskusi yang berkepanjagan tanpa menghasilkan solusi konkrit, namun diatasi melalui tindakan nyata, dengan membuat regulasi-regulasi yang melindugi bangsa sendiri, memudahkan rakyat berusaha dalam segala hal untuk meningkatkan kehidupan, membuat kenyaman bagi rakyat banyak/ mayoritas, memudahkan rakyat menikmati hidupnya, memfasilitasi terciptanya lapangan kerja, memfasilitasi terwujudkan fasilitas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi serta pendidikan ketrampilan yang diperlukan oleh masyarakat kontemporer. Sindiran yang sering menyakitkan hati penulis : “ but it’s very very difficul to make every body happy guys “. Dewasa ini, aparat birokrasi masih suka mempersulit proses, seperti yang pernah dikatakan Presiden Megawati sebagai sindirin kepada para pembantunya : “ Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah “ Kata ini singkat dan sederhana namun sebetulnya mengandung sindiran yang dasyat, laksana bom atom yang meledak di Hirosima dan Nagasaki sewaktu perang dunia II. Sindiran seorang ibu yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Pemerintahan dianggap sebagai lelucon tanpa disikapi dengan tindakan nyata dari para pembantunya (menteri), tanpa diikuti pembuatan regulasi dari legislative, tanpa diikuti tindakan tegas kepada aparat yang suka mempersulit proses pelayanan dan sebagainya. Sikap skeptis para pelaku birokrasi semakin lama semakin menjadi kebiasaan dan dianggap hal yang biasa/menjadi budaya negatif.
Namun apa boleh buat, sampai sekarang tetap belum ada perubahan, hobby mempersulit proses apapun, masih menjadi kebanggaan para pemegang birokrasi, bahkan semakin merembet ke kalangan Legislative dan Yudikative. Awalnya tindakan awak organisasi baik di Eksekutive, Legislative maupun Yudikative, bermaksud untuk memperoleh uang pelicin sekedar menambah take home pay, ( jaman pak Domo disebut Pungutan Liar/Pungli) karena pendapatan mereka/take home pay belum dapat menjamin kehidupan yang layak bagi seorang manusia. Akibatnya, dalam segala strata organisasi yang tidak dapat menjamin awak organisasi dengan take home pay yang layak, terjadilah hal yang demikian. Inilah tindakan manusiawi, yang merupakan sifat hakiki manusia yang ingin hidup senang. Bagi mereka yang kebetulan sudah hidup layak, meningkat ingin hidup mewah, dan bagi mereka yang sudah hidup mewah, ingin lagi menyiapkan anak cucunya supaya tidak kesulitan dikemudian hari. Ini juga sifat hakiki manusia yang serakah dan dinamis, satu terpenuhi ingin yang lain, diberi hati ingin rempela, diberi pipi ingin dada, diberi dada ingin paha dan sebagainya. Itulah sifat hakiki manusia, apakah manusia dilingkungan Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, TNI ataupun manusia di lingkungan Swasta, BUMN dan di lingkungan Koperasi.
Untuk itulah, manusia harus bekerjasama dengan manusia lain, karena bekerjasama dengan manusia lain adalah kodrattullah dan sunatullah. Kita tidak dapat hidup sendiri seperti jaman Bung Karno Berdikari, berdiri diatas kaki sendiri. Akibatnya kita terpuruk dan turunlah Bung Karno. Begitu juga pada jaman pak Harto beserta kroninya, hidup sendiri tidak memberi kesempatan power sharing, akibatnya ekonomi kacau dan jatuhlah pak Harto. Bagi manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri, yang dapat hidup sendiri hanyalah Tuhan. Tuhan saja memerlukan permainan dan senda gurau, makanya Tuhan menciptakan dunia beserta isinya termasuk menciptakan manusia untuk membuat sandiwara dunia.
Oleh karena itu bekerjasama dengan manusia lain merupakan kondisio cine quanon untuk dapat hidup senang.
Cara berikutnya adalah memberi take home pay yang dapat digunakan untuk hidup layak. Hal ini merupakan amanat UUD 1945 pasal 27 ayat 2 :’ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “ beserta perubahannya. Amanat ini adalah amanat pendahulu pendiri negara yang diwariskan ke generasi penerus. Kita jangan hanya mengambil warisan yang enak saja/kekuasaan untuk memperoleh segala-galanya tetapi amanat untuk menciptakan lapangan kerja dan kehidupan yang layak merupakan kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan.
Penulis yakin seyakin-yakinnya, bahwa tanpa jaminan hidup layak bagi awak organisasi, jangan diharap organisasi itu akan efektif atau efisien dan dapat menghasilkan output dan outcomes yang optimal. Begitu juga dilingkungan aparatur negara, tanpa jaminan hidup layak bagi awak aparatur negara sampai mati disertai sangsi yang tegas, jangan diharap aparatur negara yang bersih dan berwibawa/clean govermence, dapat tercapai, karena kesejahteraan manusia sebagai awak organisasi / man behind the gun merupakan condiso cine quanon bagi terwujudnya organisasi yang displin, efektif, efisien dan optimal.
Penciptakan lapangan kerja agar manusia dapat dengan mudah mencari makan. Lapangan kerja dapat diciptakan melalui regulasi kepada setiap investor baik manusia Indonesia maupun manusia non Indonesia untuk mempunyai kewajiban menginvestasikan segala perolehan yang didapat dari bumi Indonesia, diinfestasikan kembali di bumi Indonesia bukan di negara tetangga dan atau di negara lain dengan jaminan keamanan dan keselamatan modal dan pemiliknya. Inilah hal yang paling mendasar dalam menata sistem perdagangan agar negara jangan hanya dijadikan untuk mencari modal dan modal yang didapat dilempar keluar (capital flight). Sementara ini, masalah ini terlupakan, kita mencari modal dari luar sambil menjanjikan berbagai fasilitas termasuk fasilitas interest pribadi dan kelompoknya. Alhasil investor dari bangsa sendiri dan atau investor dari negara sahabat, mulai gerah dan muncul berbagai tuntutan yang merugikan negara. Investor perlu diberi pilihan jika modal diinvestasikan di Indonesia maka bebas pajak, jika dikirim keluar dikenakan pajak tinggi. Tentang hal ini para petugas pajak tidak perlu diajari, tetapi perlu kesungguhan dan keberanian serta kemauan untuk bertindak dari para awak pajak. Oleh karena itu perlu reformasi dan reregulasi pajak yang komprehensif, integral dan wholistik. Sejalan dengan itu tata niaga dan tata ekonomi nasional harus direformasi yang endingnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan pribadi beserta kelompok seperti yang sekarang sedang marak terjadi dilingkungan birokrasi dan lingkungan swasta.
Jaman Orde Baru, ekonomi didesign dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (Logi ke 2 dari Tri Logi Pembangunan : Pertumbuhan Ekonomi yang cukup tinggi). Rekayasa ekonomi, dibuat konsepsi dari negara pertanian secara bertahap akan dijadikan negara industri dan dapat tinggal landas. Begitulah ceritera para ekonom lulusan Berkley USA yang membantu Presiden Suharto dalam mendeign sistem ekonomi Indonesia. Design tersebut sebenarnya berdasarkan ilmu ekonomi dari USA, ekonomi liberal/ free fight competiton tetapi direkayasa seolah–olah ekonomi Pancasila yang berdasarkan pasal 30 UUD 1945 dengan design mendirikan industri secara bertahap dari pengolahan bahan baku sampai pengolahan bahan jadi untuk eksport. Rekayasa seperti itu, melupakan hal yang hakiki bahwa tidak ada manusia memelihara anak macan untuk menerkam si manusia itu sendiri di kemudian hari. Apa betul kita akan dibimbing untuk menyaingi negara industri yang telah mapan ? Nonsense. Jika kita ingin menyaingi negara industri, kita harus dapat merebut teknologi sendiri dan atau menemukan teknologi baru sendiri, bukan minta diajari oleh manusia yang akan disaingi. Jika hal ini kita lakukan, maka kita akan diajari ilmu yang telah kadaluwarsa (absolete) dan tidak pernah diajari ilmu yang baru hasil penemuan mereka yang terbaru. Oleh karenanya, kita selalu ketinggalan walaupun perasaan kita sudah hebat belajar teknologi baru. Baru bagi kita, tetapi absolete bagi mereka, dan mereka memasarkan produk di pasar bebas berdasarkan teknologi baru yang mereka kuasai. Terus bagaimana strategi untuk dapat meningkatakan pertumbuhan ekonomi ?
Kita harus berparner dengan negara yang telah maju. Berparner dalam membuat produk sambil secara diam-diam mempelajari teknologinya. Jika kita akan menyaingi mereka, kita tidak perlu memproklamasikan bahwa kita akan menyaingi guru kita. Otomatis kita akan dipites. Cara seperti ini sudah dikerjakan oleh negara berkembang yang telah maju seperti Jepang, Korea, Taiwan, Cina dan sebentar lagi Malaysia, Singapura dan Vietnam. Sejalan dengan itu kita harus meningkatkan kualitas produk asli bangsa kita / pertanian / agro industri, perkayuan, perikanan, pertambangan. Perindustrian hanya terbatas pada industri yang mensuplay komponen produk dari industri bangsa yang telah maju atau industri yang mngolah bahan baku yang ada di negara kita. Jika kita mengembangkan pemahaman ini, akan dipelihara dan dibina dan dapat bekerjasama dengan bangsa yang telah maju secara saling menguntungkan. Kita tidak dapat berbuat banyak jika kita lemah. Tanpa menyadari bahwa sementara ini kita masih lemah dan miskin, kita arogan, congkak dan takabur dan memandang diri kita sendiri bangsaku ini, merasa sejajar dengan bangsa lain yang telah maju baik kekuatan maupun kemampuan. Jika kita menganalisis diri kita / negara kita dengan metode SWOT maka :
* Strengt : Kita masih sangat lemah dan miskin, kekayaan alam berlimpah, namun masih digunakan oleh sekelompok penguasa untuk kepentingan diri sendiri beserta kelompoknya, sehingga negara tetap miskin sedangkan para pelaku otoritas dan birokrasi beserta kroninya dapat berfoya-foya menikmati kekayaan negara.
Angkatan Bersenjata lemah, personel minim jika dibandingkan dengan luas wilayah yang harus dipertahankan dan jumlah penduduk yang harus dilindungi, persenjataan minim, disposisi mayoritas di pulau Jawa . Kemampuan teknologi militer dan teknologi non militer masih sangat rendah sehingga tidak mampu menghasilkan sistem senjata sendiri yang canggih, dan produk unggulan yang dapat bersaing di pasar bebas. Rayat golongan elit politik, elit cendekianwan, elit agama, elit ekonomi, elit militer mayoritas sombong, padahal belum sembodo, artinya kita belum kuat tetapi merasa kuat, sehingga berani menentang negara kuat dan tidak mau bekerjasama dengan negara kuat. Kita perlu bercermin, mengacu kepada perang Irak. Sadam Husein sombong, Amerika menuduh ada senjata nuklir di Irak padahal alasan sesungguhnya adalah akibat ekspor minyak Irak minta dibayar dengan Uero. Amerika marah, karena bisa-bisa dollar dia menurun atau tidak laku. Memang Amerika juga sombong, tetapi mereka sembodo, artinya mempunyai kekuatan yang dapat diandalkan untuk menompang kesombongannya. Namun jika manusia sombong dan tidak mempunyai kekuatan untuk menjamin kesombongannya seperti kesombongan bangsa kita, hasilnya akan hancur, dihancurkan oleh manusia yang tidak suka dengan kesombongan kita. Analisa kemampuan sendiri selalu dibesar-besarkan bahwa negara kita negara besar. Rakyat besar dan negara luas beserta kekayaannya, tanpa diikuti kemampuan rakyat yang memadai. Jumlah rakyat yang besar tanpa dikuti kemampuan yang handal, maka rakyat tadi hanyalah beban yang memberatkan. Wilayah yang luas dan banyak sumber alam termasuk ikan, hutan dan sumber daya mineral hanya menjadi incaran negara lain untuk mencuri dan merampok kekayaan bila perlu menguasai sekalian, seperti lepasnya Timor Timur, Sipadan dan Ligitan dan entah manalagi berikutnya mungkin Batam, salah satu Kepaluan Riau, Papua ?. Rakyat dalam jumlah besar disertai segala kemampuan, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemampuan penelitian, kemampuan bekerja dan hidup dengan disiplin , kemampuan berdiplomasi, kemampuan mawas diri, baru merupakan potensi dan atau kekuatan yang efektif untuk meningkatkan taraf kehidupan bangsa dan dapat menompang kesombongan.
** Weakness. Bangsa kita sementara ini tidak mau tahu dengan kelemahan sendiri, masih merasa kuat dan dapat melawan negara kuat yang sudah maju / super power. Kita selalu mengambil sikap konfrontatif dengan negara yang tidak sama pemahamannya dengan bangsa kita. Kita menuduh mereka dan memberi julukan bahwa mereka : kafir, arogan, kapitalis, imperalis, tanpa menyadari justru tetangga kita yang tidak memiliki ruang yang cukup untuk kehidupan rakyatnya merupakan ancaman yang nyata dan potensial yang secara sembunyi-sembunyi menyusupkan taktik dan strategi agar bisa menguasai negara kita tanpa harus mengalahkan secara pisik / menang tanpa ngasorake, melalui penguasaan aspek ekonomi dan aspek sosial budaya. Pemerintah kita mengijinkan bangsa lain untuk membeli tanah, rumah, perusahaan secara perorangan atau kelompok, sehingga cepat atau lambat semua tanah, rumah, perusahaan di negara kita, akan terbeli oleh bangsa lain yang mempunyai kemampuan ekonomi tinggi. Kita akan terdesak ke gunung dan menjadi buruh di negara sendiri dan akhirnya setahap demi setahap tapi pasti, akan punah dengan sendirinya tanpa harus dibunuh atau diperangi, laksana punahnya suku Negrito di tanah Jawa, suku Aborigin di Australia, suku Indian di Amerika, suku Samud, suku Ad di Timur Tengah.. Sejarah telah membuktikan, kedatangan VOC Belanda, awalnya sopan santun berdagang, membeli tanah, setelah kuat mereka berubah untuk menguasai dan menduduki negara kita dengan kekuatan senjata dan pemaksaan kehendak. Tumasik awalnya adalah wilayah Nusantara Majapahit, sekarang menjadi Singapura, Betawi menjadi Jakarta, penduduk Betawi terusir dengan sendirinya secara syah dan alami, karena mereka menjual tanah pekarangannya kepada pendatang yang lebih kaya. Mereka mencari tanah dipinggiran kota, kemudian pada saat perluasan kota, anak cucu mereka menjual lagi dan pindah kepinggir kota begitu seterusnya. Dengan kata lain kita terlena dengan buaian negara kaya, negara kuat, negara besar tanpa memahami ucapan itu hanya slogan yang dapat menjerumuskan. Akibat perasaan yang demikian, kita tidak mau membina hubungan yang baik dengan negara tetangga dan negara adidaya yang berbeda kulit, berbeda agama, berbeda makanannya, berbeda bahasa dan perbedaan-perbedaan lainnya. Kita hanya mau membina persahabatan dengan negara, bangsa yang seagama. Selama kita masih mempunyai paham seperti ini, kita akan tersingkir dari pergaulan dunia, sedikit demi sedikit dikuasai melalui aspek ekonomi dan pada akhirnya bangsa kita, hanya menjadi bacaan sejarah yang dipelajari oleh anak cucu bahwa dulu pernah ada yang namannya bangsa Indonesia. Negara Indonesia memang masih eksis, namun penghuni dan rakyatnya telah berubah dari rakyat berkulit sawo matang, menjadi rakyat berkulit kuning, berkulit putih dan berkulit hitam sebagai warga negara Indonesia. Apakah itu yang dikendaki oleh para pemimpin dan elit bangsa yang mengaku memiliki nasionalisme, patriotisme yang tinggi?
Jika kita merasa tidak puas dan mengambil tindakan radikal dengan teror bom, mengadakan kerusuhan masa dengan alasan etnis, merusak hasil pembangunan, kita malah terjebak kedalam tindakan kekerasan dan melanggar hukum yang akhirnya hanya mempercepat kepunahan saja / kontra produktif.
Bagaimana cara mengatasi agar bangsa kita tidak punah. Rakyat yang diberi kesempatan untuk mengatur /pemerintah, membuat tata aturan yang bijak yang memandang jauh kedepan untuk bangsanya bukan berdasarkan pertimbangan sesaat. Tanah kita bukan dijual habis, namun disewakan dalam kurun waktu tertentu, bukan seperti sekarang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Pakai (HGP), Hak Guna Usaha (HGU) dapat diperpanjang semau pengguna atas ijin penguasa, sehingga sama saja dengan penjualan habis. Dewasa ini masing-masing yang berkuasa berlomba membuat aturan yang tidak memperhatikan kemungkinan di masa depan dalam kurun waktu 30 sampai 100 tahun, hanya untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
*** Opportunity. Peluang, kesempatan untuk memperbaiki tingkat kehidupan bangsa, telah terbuka, namun belum dapat dibaca oleh para penguasa dan pengusaha. Sumber daya alam yang berlimpah/panjang punjung pasir wukir loh jinawi ( apa hanya kata-kata dalang saja tanpa bukti ? ), rakyat yang banyak, merupakan peluang yang dapat didayagunakan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Negara dikatakan panjang–punjung pasir wukir loh jinawi tetapi nyatanya negara miskin ? berarti ada mismanajemen negara. Jika dikatakan demikian para elit pemerintah akan berang dengan mengatakan : “ Emangnya gue bodoh ? “. Apakah mereka smart atau folish, fool, kenyataan mengatur negara sejak dahulu kala dari tahun 1945 sampai sekarang bangsa kita ini masih digolongkan bangsa dan negara miskin, negara berkembang, negara terkacau, negara bar-bar, negara teoris, negara terbanyak korupsinya, negara apa lagi sebutan yang tidak populer, selalu ditujukan kepada bangsa dan negara kita. Kita prihatin.... peluang dan kesempatan yang ada belum dapat diekspoitir, baru pada tingkat dibiarkan/ dipelihara saja tumbuh dan berkembang secara alami sambil dijual kepada yang mengincar negara kita. Ada yang mengatakan :” Hujan saja lama–kelamaan akan berhenti, tidak perlu diusahakan dengan pawang atau ahli menghentikan hujan “, Begitulah ucapan beberapa orang yang tidak mau tahu dengan kehidupan bangsanya. Orang semacam ini jika terpilih menjadi pelaku pemerintah apapun kedudukannya, mereka tidak akan dapat memberikan kontribusi yang positip dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Mereka hanyalah kaum opportunitis belaka. Bila negara ini dipegang oleh kaum opportunitis yang berkedok pahlawan, alangkah bahayanya bangsa kita terancam oleh kepunahan ... apakah proses alam ....
*** Tread. Ancaman bangsa kita apa ? Yang merumuskan ancaman dalam kurun waktu jangka pendek (1 tahun), jangka menegah (5 tahun dan bahkan jangka panjang ( 25 tahun) baru dilingkungan TNI, dalam bentuk ancaman militer. Pada waktu era Sosial Politik masih merupakan Dwi Fungsi ABRI, ancaman nonmiliter juga dirumuskan. Namun karena bukan bidang militer, TNI merumuskan ancaman ekonomi, politik, sosial budaya, hasil rumusan tidak akurat, dan hanya untuk dokumentasi strategis saja tanpa ada upaya memasyarakatkan rumusan tersebut. Dewasa ini dalam buku putih Dephan juga dirumuskan ancaman non militer, namun masih tingkat wacana. Justru ancaman nyata yang sudah menyerang kehidupan bangsa kita tidak disadari, sehingga tidak terumuskan dalam dokumen buku putih tersebut. Konsep ancaman yang dirumuskan TNI Angkatan Darat sebagai Perang Modern malah disikapai secara skeptis. Ancaman apakah itu ?
Ancaman pada aspek ekonomi. Bangsa kita sudah terjajah, ekonomi sudah dikuasai oleh bangsa lain, bangsa sendiri menjadi penonton dan pasar. Akibatnya yang dapat menikmati kesenangan hidup adalah bangsa lain, bangsa kita sekedar menjadi buruh dan pengawai serta pengawal mereka. Sejalan dengan itu, ancaman non militer lainnya yang masih berkembang dalam manusia Indonesia adalah sikap perilaku manusia Indonesia yang belum disiplin, masih memiliki paham monolistik yang militant, arogan, malas, belum tekun dan ingin cepat memperoleh kekayaan dalam waktu yang singkat. Inilah ancaman bangsa kita yang sekarang ada. (Mohon maaf penulis tidak menggunakan rumusan ancaman non militer versi buku putih Dephan). Bagaimana mengatasi ancaman tersebut ? Ancaman tidak hanya diterapi dengan berteori ekonomi mikro dan makro, bukan diatasi dengan diskusi yang berkepanjagan tanpa menghasilkan solusi konkrit, namun diatasi melalui tindakan nyata, dengan membuat regulasi-regulasi yang melindugi bangsa sendiri, memudahkan rakyat berusaha dalam segala hal untuk meningkatkan kehidupan, membuat kenyaman bagi rakyat banyak/ mayoritas, memudahkan rakyat menikmati hidupnya, memfasilitasi terciptanya lapangan kerja, memfasilitasi terwujudkan fasilitas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi serta pendidikan ketrampilan yang diperlukan oleh masyarakat kontemporer. Sindiran yang sering menyakitkan hati penulis : “ but it’s very very difficul to make every body happy guys “. Dewasa ini, aparat birokrasi masih suka mempersulit proses, seperti yang pernah dikatakan Presiden Megawati sebagai sindirin kepada para pembantunya : “ Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah “ Kata ini singkat dan sederhana namun sebetulnya mengandung sindiran yang dasyat, laksana bom atom yang meledak di Hirosima dan Nagasaki sewaktu perang dunia II. Sindiran seorang ibu yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Pemerintahan dianggap sebagai lelucon tanpa disikapi dengan tindakan nyata dari para pembantunya (menteri), tanpa diikuti pembuatan regulasi dari legislative, tanpa diikuti tindakan tegas kepada aparat yang suka mempersulit proses pelayanan dan sebagainya. Sikap skeptis para pelaku birokrasi semakin lama semakin menjadi kebiasaan dan dianggap hal yang biasa/menjadi budaya negatif.
Namun apa boleh buat, sampai sekarang tetap belum ada perubahan, hobby mempersulit proses apapun, masih menjadi kebanggaan para pemegang birokrasi, bahkan semakin merembet ke kalangan Legislative dan Yudikative. Awalnya tindakan awak organisasi baik di Eksekutive, Legislative maupun Yudikative, bermaksud untuk memperoleh uang pelicin sekedar menambah take home pay, ( jaman pak Domo disebut Pungutan Liar/Pungli) karena pendapatan mereka/take home pay belum dapat menjamin kehidupan yang layak bagi seorang manusia. Akibatnya, dalam segala strata organisasi yang tidak dapat menjamin awak organisasi dengan take home pay yang layak, terjadilah hal yang demikian. Inilah tindakan manusiawi, yang merupakan sifat hakiki manusia yang ingin hidup senang. Bagi mereka yang kebetulan sudah hidup layak, meningkat ingin hidup mewah, dan bagi mereka yang sudah hidup mewah, ingin lagi menyiapkan anak cucunya supaya tidak kesulitan dikemudian hari. Ini juga sifat hakiki manusia yang serakah dan dinamis, satu terpenuhi ingin yang lain, diberi hati ingin rempela, diberi pipi ingin dada, diberi dada ingin paha dan sebagainya. Itulah sifat hakiki manusia, apakah manusia dilingkungan Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, TNI ataupun manusia di lingkungan Swasta, BUMN dan di lingkungan Koperasi.
Untuk itulah, manusia harus bekerjasama dengan manusia lain, karena bekerjasama dengan manusia lain adalah kodrattullah dan sunatullah. Kita tidak dapat hidup sendiri seperti jaman Bung Karno Berdikari, berdiri diatas kaki sendiri. Akibatnya kita terpuruk dan turunlah Bung Karno. Begitu juga pada jaman pak Harto beserta kroninya, hidup sendiri tidak memberi kesempatan power sharing, akibatnya ekonomi kacau dan jatuhlah pak Harto. Bagi manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri, yang dapat hidup sendiri hanyalah Tuhan. Tuhan saja memerlukan permainan dan senda gurau, makanya Tuhan menciptakan dunia beserta isinya termasuk menciptakan manusia untuk membuat sandiwara dunia.
Oleh karena itu bekerjasama dengan manusia lain merupakan kondisio cine quanon untuk dapat hidup senang.
Cara berikutnya adalah memberi take home pay yang dapat digunakan untuk hidup layak. Hal ini merupakan amanat UUD 1945 pasal 27 ayat 2 :’ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “ beserta perubahannya. Amanat ini adalah amanat pendahulu pendiri negara yang diwariskan ke generasi penerus. Kita jangan hanya mengambil warisan yang enak saja/kekuasaan untuk memperoleh segala-galanya tetapi amanat untuk menciptakan lapangan kerja dan kehidupan yang layak merupakan kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan.
Penulis yakin seyakin-yakinnya, bahwa tanpa jaminan hidup layak bagi awak organisasi, jangan diharap organisasi itu akan efektif atau efisien dan dapat menghasilkan output dan outcomes yang optimal. Begitu juga dilingkungan aparatur negara, tanpa jaminan hidup layak bagi awak aparatur negara sampai mati disertai sangsi yang tegas, jangan diharap aparatur negara yang bersih dan berwibawa/clean govermence, dapat tercapai, karena kesejahteraan manusia sebagai awak organisasi / man behind the gun merupakan condiso cine quanon bagi terwujudnya organisasi yang displin, efektif, efisien dan optimal.
Penciptakan lapangan kerja agar manusia dapat dengan mudah mencari makan. Lapangan kerja dapat diciptakan melalui regulasi kepada setiap investor baik manusia Indonesia maupun manusia non Indonesia untuk mempunyai kewajiban menginvestasikan segala perolehan yang didapat dari bumi Indonesia, diinfestasikan kembali di bumi Indonesia bukan di negara tetangga dan atau di negara lain dengan jaminan keamanan dan keselamatan modal dan pemiliknya. Inilah hal yang paling mendasar dalam menata sistem perdagangan agar negara jangan hanya dijadikan untuk mencari modal dan modal yang didapat dilempar keluar (capital flight). Sementara ini, masalah ini terlupakan, kita mencari modal dari luar sambil menjanjikan berbagai fasilitas termasuk fasilitas interest pribadi dan kelompoknya. Alhasil investor dari bangsa sendiri dan atau investor dari negara sahabat, mulai gerah dan muncul berbagai tuntutan yang merugikan negara. Investor perlu diberi pilihan jika modal diinvestasikan di Indonesia maka bebas pajak, jika dikirim keluar dikenakan pajak tinggi. Tentang hal ini para petugas pajak tidak perlu diajari, tetapi perlu kesungguhan dan keberanian serta kemauan untuk bertindak dari para awak pajak. Oleh karena itu perlu reformasi dan reregulasi pajak yang komprehensif, integral dan wholistik. Sejalan dengan itu tata niaga dan tata ekonomi nasional harus direformasi yang endingnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan pribadi beserta kelompok seperti yang sekarang sedang marak terjadi dilingkungan birokrasi dan lingkungan swasta.