Tuesday, April 7, 2009

DISIPLIN NASIONAL

Disiplin bukan monopoli TNI. Disiplin dalam pengertian ketaatan manusia Indonesia kepada peraturan negara (peraturan Kepala Negara. peraturan eksekutive, peraturan yudikative dan peraturan legislative) yang berlaku, secara ikhlas tanpa paksaan. Dikatakan tanpa paksaan, namun belum tentu aturan-aturan tersebut sesuai dengan keinginan sebagian kecil manusia. Manusia yang tidak setuju atau merasa terbelenggu oleh aturan akan bereaksi membangkang atau melanggar secara sembunyi-sembunyi. Oleh karenanya, maka perlu coersive dalam rangka law enforcement . Disinilah perlu tangan besi untuk dapat menegakan peraturan yang telah disepakati tanpa pandang bulu. Hukum dan aturan berlaku umum/general, bukan berlaku khusus maka setiap manusia berkedudukan sama dimuka hukum. Law enforcement hanya bisa terlaksana dengan paksaan, tidak bisa dengan contoh teladan, diskusi, demokrasi, kebapakan dan sebagainya. Sepanjang paksaan untuk kepentingan mayoritas rakyat yang telah disepakati oleh sebagaian besar rakyat (demokrasi), penulis percaya akan didukung oleh rakyat. Penegakan peraturan tidak perlu gamang, namun jika masih ada yang kebal terhadap peraturan (Birokrasi Jarkoni, mengajar tetapi Nglakoni, mendidik larangan tetapi dia sendiri melakukan pekerjaan yang dilarang tersebut) maka lemahlah hukum/ peraturan tersebut. Taat azas harus dibiasakan kepada rakyat supaya rakyat sendiri tidak mau melanggaran aturan. Pengalaman penulis sewaktu belajar di USA, jika kawannya mengajak melanggar aturan misalnya membeli senjata tanpa Hunting Lisence diurus dulu, dia langsung mengatakan :” Don’t break the rule sir ! “. Mereka ternyata mengimplementasikan saling asah, saling asuh dan saling asih.

Saling asah, karena selama penulis di USA didampingi oleh sponsor akademi yang selalu membimbing penulis dalam menyusun kata dan kalimat produk-produk tertulis agar tidak terlalu menyimpang dari tata bahasa Amerika.

Saling asuh, karena selain sponsor akademik penulis juga diberi Sponsor Sosial yang bertugas membimbing penulis agar tidak mempunyai kesan atau perilaku seperti di film-film Amerika. Mereka mengatakan bahwa perilaku orang Amerika antara yang ada di film dengan kenyataan, berbeda dan jangan terkecoh oleh perilaku para bintang film yang memang untuk konsumsi hiburan.

Saling asih, penulis diperlakukan seperti saudara, kuliah djemput ke Bachelor Office Quarter (BOQ), dan selesai kuliah diantar kembali ke BOQ.

Bangsa Amerika tidak memiliki semboyan saling asah, saling asuh dan saling asih, tetapi ternyata dalam kehidupannya mengamalkan semboyan tersebut. Demikian pula bangsa Amerika tidak membaca Al Qur’an tetapi mereka mempraktekan ayat-ayat Al Qur’an, seperti ucapan :” It’s your bisnis Sir atau It’s my bisnis Sir “ mengandung makna bahwa itu urusan anda. Hal ini seperti yang tercantum dalam Al Qur’an bahwa kamu berbuat baik ya untukmu, kamu berbuat jahat ya untukmu. Itu urusanmu. Masalah – masalah pribadi serahkan kepada pribadi masing-masing sedangkan masalah yang menyangkut hubungan antara manusia/ habluminanas harus dikoordinasikan agar dapat dicapai kesepakatan. Salah satu masalah yang sangat pribadi adalah agama dan pemahaman terhadap hal-hal berkaitan dengan rochani. Inilah yang tidak boleh diganggu dan merupakan urusan pribadi masing-masing. Begitu juga mereka selalu mengejar ilmu pengetahuan dan teknologi baru untuk kehidupannya tanpa mengenal menyerah. Hal ini merupakan aplikasi / pengamalan Surat ke 55 Ar Rahmaan (Yang Maha Pengasih) ayat 33 : “Hai sekalian Jin dan Manusia, jika kamu mampu menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak bisa menembusnya melainkan dengan kekuatan “ Kekuatan disini harus diterjemahkan sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi, agar manusia dapat menjelajah penjuru langit dan bumi. Manusia Indonesia yang mempunyai Al Qur’an belum dapat mengamalkan ayat tersebut.

Tanggon. Bagaimana mendidik / mencetak rakyat yang tanggon, ulet dalam segala usaha untuk mewujudkan keinginananya. Pembelajaran dan pelatihan dini sejak lahir. Peranan orang tua, peran lingkungan tempat tinggal, peran lingkungan sekolah dan peran lingkungan tempat kerja semua merasa terpanggil untuk menjadikan manusia disekitarnya menjadi manusia yang ulet/tangguh.

Tanggap. Bagaimana mencetak rakyat yang tanggap/reaktif terhadap hal-hal yang baik. Kembali ke pendidikan, pengajaran dan pelatihan merupakan wahana yang tepat dalam mencetak rakyat yang tanggap. Rakyat juga tidak bisa didesign agar tanggap sesuai strata 1, 2 atau bahkan 3. Komposisi rakyat tetap harus seperti kerucut. Strata 3 (masyarakat golongan atas) sekitar 15 %, strata 2 dan 1( masyarakat golongan menengah) sekitar 35 % dan strata 0 (masyarakat golongan bawah) sekitar 50 %. Komposis ini perlu dijaga agar distribusi tenaga kerja juga dapat tersalur sesuai kebutuhan. Jika komposisi ini berubah tanpa diikuti dengan perluasan lapangan kerja, maka akan terjadi kepincangan atau pengangguran terselubung, artinya kualitas pendidikan yang lebih tinggi menagani pekerjaan yang berada di strata bawahnya. Misalnya manusia tingkat pendidikan S1 menangani pekerjaan strata dibawahnya yang seharusnya hanya dikerjakan oleh manusia dengan kualifikasi lulusan Sekolah Menengah.

Jadi mencetak rakyat yang tanggap adalah membentuk kwalitas rakyat agar menguasai bidang tugasnya/bidang pekerjaannya/profesional pada profesinya. Semua rakyat mempunyai profesi untuk memperoleh take home pay yang layak untuk menikmati hidupnya, bukan mencetak. Gerakan mencetak manusia yang tanggap digemakan disemua lingkungan, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan tempat tinggal dan lingkunga pekerjaan baik swasta maupun pemerintah.

Trengginas. Trengginas bukan berarti manusia yang mempunyai pisik yang utuh, namun trengginas dalam arti dinamis dalam menyikapi hidup yang penuh tantangan. Untuk dapat bersikap dan berperilaku trengginas sudah barang tentu harus diawali dengan memiliki sikap tanggon dan tanggap, aplikasinya didukung semangat tentu akan trengginas. Trengginas tanpa di ikuti tanggap menjadi pekerja keras tanpa konsep alias ngawur (Hard Worker. Trengginas tanpa di ikuti tanggon, cepat putus asa (childess) . Oleh karena itu rakyat harus mempunyai kwalitas tanggon, tanggap dan trengginas (Super Power). Untuk itu, manusia perlu dibentuk karakternya, bukan dibiarkan tumbuh liar. Penulis pada awalnya beranggapan bahwa manusia Indonesia sebagai orang timur, dikatakan lembah lembut, sopan santun, namun setelah melihat kekejaman G.30 S /PKI dan juga upaya penumpasannya, perilaku demonstran sewaktu menumbangkan Orde Baru dan perilaku sebagian manusia Indonesia melampiaskan ketidak puasannya dengan perilaku seperti manusia Barbar penuh kekerasan, teror bom, saling memfitnah, saling menculik, saling bunuh-membunuh dan seterusnya, penulis menjadi semakin heran, salah siapa ? Bagaimana para pemimpin yang bertanggungjawab terhadap kehidupan bangsanya ? Bagaimana peran pendakwah agama, kyai/ustad/pasteur/pendeta/ulama, bagaimana peran para guru/dosen, bagaimana peran para orang tua, bagaimana peran para pemimpin organisasi ? Pak/bu RT, pak/bu RW, pak/bu Lurah, Pak/bu Camat, Pak/bu Bupati, Pak/bu Gubernur, pak/bu Presiden, pak/bu Jaksa, pak/bu Hakim, pak / bu anggota Dewan yang terhormat, pak/bu . Semua klise, semua semu semua tidak fair. Di lingkungan manusia Indonesia terjadi krisis moral, krisis pemimpin nasional beserta kepemimpinannya, kehilangan pedoman dan pandangan hidupnya, kebingungan mencari bentuk/ identitas dan sebagainya. Apakah memang ini sudah menjadi takdir Allah SWT dalam memproses kepunahan manusia Indonesia ???

No comments: