Tuesday, August 23, 2011

RAKYAT YANG TANGGON, TANGGAP DAN TRENGGINAS SERTA DISIPLIN NASIONAL.

Tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang baik bukan hanya tergantung pada awak aparatur negara melainkan juga tergantung pada rakyatnya. Oleh karena itulah kualitas rakyatpun harus dirancang agar mempunyai karakter yang tanggon, tanggap dan trengginas serta disiplin. Visi ini bukan hanya untuk visi di lingkungan Akademi Militer saja melainkan harus diterapkan kepada seluruh manusia Indonesia. Oleh karena itu, perlu konsepsi tentang nation character building/rekayasa sosial/social engineering. Social engineering diperlukan untuk membentuk watak rakyat agar memiliki kualiatas tanggon, tanggap dan trengginas serta disiplin.

1. TANGGON. Bagaimana mendidik / mencetak rakyat yang tanggon, ulet dalam segala usaha untuk mewujudkan keinginananya. Pembelajaran dan pelatihan dini sejak lahir. Peranan orang tua, peran lingkungan tempat tinggal, peran lingkungan sekolah dan peran lingkungan tempat kerja semua merasa terpanggil untuk menjadikan manusia disekitarnya menjadi manusia yang ulet/tangguh/tanggon.
2. TANGAP. Bagaimana mencetak rakyat yang tanggap/reaktif terhadap hal-hal yang baik. Kembali ke pendidikan, pengajaran dan pelatihan merupakan wahana yang tepat dalam mencetak rakyat yang tanggap. Rakyat juga tidak bisa didesign agar tanggap dengan menggondol gelar akademik saja tetapi direkayasa agar mempunyai kemampuan dalam menyiasati segala cara guna memperoleh kemudahan dalam menjalani hidup dan kehidupannya beserta kelompoknya, sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang indah, mudah dan tidak goyah. Komposisi rakyat tetap harus seperti kerucut. Mengacu kepada teory Paretho Law dalam inventory, maka strata 3 (masyarakat golongan atas ) sekitar 15 %, strata 2 dan 1 ( masyarakat golongan menengah) sekitar 35 % dan strata 0 atau yang lebih rendah (masyarakat golongan bawah) sekitar 50 %. Komposis ini perlu dijaga agar distribusi tenaga kerja juga dapat tersalur sesuai kebutuhan. Jika komposisi ini berubah tanpa diikuti dengan perluasan lapangan kerja, maka akan terjadi kepincangan atau pengangguran terselubung, artinya kualitas pendidikan yang lebih tinggi menangani pekerjaan yang berada di strata bawahnya. Misalnya manusia tingkat pendidikan S1 menangani pekerjaan strata dibawahnya yang seharusnya hanya dikerjakan oleh manusia dengan kualifikasi lulusan Sekolah Menengah.
Jadi mencetak rakyat yang tanggap adalah membentuk kwalitas rakyat agar menguasai bidang tugasnya/bidang pekerjaannya/profesional pada profesinya. Semua rakyat mempunyai profesi untuk memperoleh take home pay yang layak untuk menikmati hidupnya. Gerakan mencetak manusia yang tanggap digemakan disemua lingkungan, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan tempat tinggal dan lingkunga pekerjaan baik SWTsta maupun pemerintah. Gerakan semacam ini bukan hanya ditatarkan, diseminarkan dan dipidatokan melainkan ditata dengan bingkai peraturan dan perundangan yang aplikatif. Peranan dan kreatifitas awak legislatif sangat menentukan keberhasilan dalam membuat bingkai-bingkai dan rambu-rambu untuk mencetak rakyat yang tanggap.

3. TRENGGINAS. Trengginas bukan berarti manusia yang mempunyai pisik yang utuh dan lengkap, namun trengginas dalam arti dinamis dalam menyikapi hidup yang penuh tantangan. Untuk dapat bersikap dan berperilaku trengginas sudah barang tentu harus diawali dengan memiliki sikap tanggon dan tanggap, aplikasinya didukung semangat tentu akan trengginas. Trengginas tanpa dikuti tanggap menjadi pekerja keras tanpa konsep alias ngawur (Hard Worker ). Trengginas tanpa dikuti tanggon, cepat putus asa (childess) . Oleh karena itu rakyat harus mempunyai kwalitas tanggon, tanggap dan trengginas ( Super Power ). Untuk itu, manusia perlu dibentuk karakternya, bukan dibiarkan tumbuh liar. Penulis pada awalnya beranggapan bahwa manusia Indonesia sebagai orang timur, dikatakan lembah lembut, sopan santun, namun setelah membaca sejarah pertempuran, perang, berbagai pembrontakan PKI di Madiun dan melihat kekejaman G.30 S /PKI beserta upaya penumpasannya, perilaku demonstran sewaktu menumbangkan Orde Baru dan perilaku sebagian manusia Indonesia dalam melampiaskan ketidak puasannya dengan perilaku seperti manusia Barbar penuh kekerasan, teror bom, saling memfitnah, saling menculik, saling bunuh-membunuh dan seterusnya, penulis menjadi semakin heran, salah siapa ? Bagaimana para pemimpin yang bertanggungjawab terhadap kehidupan bangsanya ? Bagaimana peran pendakwah agama, kyai /ustad /pasteur/ pendeta/ ulama, bagaimana peran para guru/dosen, bagaimana peran para orang tua, bagaimana peran para pemimpin organisasi ? Pak/bu RT, pak/bu RW, pak/bu Lurah, Pak/bu Camat, Pak/bu Bupati / Walikota, Pak/bu Gubernur, pak/bu Presiden, pak/bu Jaksa, pak/bu Hakim, pak / bu Pengacara, pak bu anggora Dewan yang terhormat, pak/bu prajurit TNI, pak/bu anggota Polri, pak/bu awak perbankan, pak / bu LSM dan pak / bu pemimpin parpol. Semua klise, semua semu semua tidak fair. Di lingkungan manusia Indonesia terjadi krisis moral, krisis pemimpin pada tingkat nasional beserta kepemimpinannya, kehilangan pedoman dan pandangan hidupnya, kebingungan mencari bentuk/ identitas dan sebagaimya. Apakah memang ini sudah menjadi takdir Allah SWT dalam memproses kepunahan manusia NKRI ??? . Ternyata kita memerlukan Disiplin Nasional dan Kepemimpinan Sejati. Bagaimana Aparatur negara dapat memiliki pola pikir dan pola tindak yang disiplin serta mahir mengaplikasikan Kepemimpinan Sejati ?

4. DISIPLIN NASIONAL. Gerakan Disiplin Nasional ( GDN ) pernah dicanangkan oleh pemimpin pemerintah Orde Baru/ Presiden Suharto pada tanggal 20 Mei 1995, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional dan pernah dimasukan kedalam krida kedua dari Panca Krida Kabinet Pembangunan VI yang berbunyi :” Meningkatkan Disiplin Nasional yang dipelopori oleh Aparatur Negara menuju terwujudnya Pemerintah yang bersih dan berwibawa dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat “ [1]. Krida kedua ini apa ada yang salah, mengapa dalam era reformasi ditenggelamkan ke laut dan tidak pernah terdengar lagi. Menurut penulis konsepsinya sangat baik tetapi aplikasinya belum tepat sehingga perlu penyusunan konsep pengamalannya, bukan di buang begitu saja. Disiplin bukan monopoli TNI. Disiplin dalam pengertian ketaatan manusia Indonesia kepada peraturan negara (peraturan Kepala Negara, peraturan eksekutive, peraturan yudikative, peraturan legislative, peraturan TNI dan peraturan perbankan yang berlaku, secara ikhlas tanpa paksaan. Dikatakan tanpa paksaan, karena belum tentu peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan keinginan sebagian kecil manusia. Manusia yang tidak setuju atau merasa terbelenggu oleh aturan akan bereaksi membangkang an atau melanggar secara-sembunyi-sembunyi. Oleh karenanya, perlu coersive dalam rangka law enforcement . Disinilah perlu tangan besi untuk dapat menegakan peraturan yang telah disepakati tanpa pandang bulu. Hukum dan peraturan berlaku umum / general, bukan berlaku khusus, maka setiap manusia berkedudukan sama dimuka hukum. Law enforcement hanya bisa terlaksana dengan paksaan, disamping dengan contoh teladan, diskusi, demokrasi, kebapakan dan sebagainya. Sepanjang paksaan untuk kepentingan mayoritas rakyat yang telah disepakati oleh sebagian besar rakyat (demokrasi), penulis percaya akan didukung oleh rakyat. Penegakan peraturan tidak perlu gamang, namun jika masih ada yang kebal terhadap peraturan ( Birokrasi Jarkoni mengajar tetapi Nglakoni, mendidik larangan tetapi dia sendiri melakukan pekerjaan yang dilarang tersebut), maka lemahlah hukum/ peraturan tersebut. Taat azas / Law abiding Principle harus dibiasakan kepada rakyat dan aparatur negara supaya rakyat sendiri dan aparatur negara tidak mau melanggar peraturan dan perundangan yang berlaku. Pengalaman penulis sewaktu belajar di luar negeri, jika kawannya mengajak melanggar peraturan misalnya membeli senjata tanpa Hunting Lisence diurus dulu, dia langsung mengatakan :” Don’t break the rule sir ! “. Mereka ternyata mengimplementasikan saling asah, saling asuh dan saling asih.
Saling asah, karena selama penulis di luar negeri didampingi oleh sponsor akademi yang selalu membimbing penulis dalam menyusun kata dan kalimat produk-produk tertulis agar tidak terlalu menyimpang dari tata bahasa negara tersebut.
Saling asuh, karena selain sponsor akademik penulis juga diberi Sponsor Sosial yang bertugas membimbing penulis agar tidak mempunyai kesan atau perilaku seperti di film-film dari negara mereka. Mereka mengatakan bahwa perilaku antara yang ada di film dengan kenyataan, berbeda dan jangan terkecoh oleh perilaku para bintang film yang memang untuk konsumsi hiburan.
Saling asih, penulis diperlakukan seperti saudara, kuliah djemput ke Bachelor Office Quarter (BOQ), dan selesai kuliah diantar kembali ke BOQ.
Bangsa asing tidak memiliki semboyan saling asah, saling asuh dan saling asih, tetapi ternyata dalam kehidupannya mengamalkan semboyan tersebut. Demikian pula bangsa asing tidak membaca Al Qur’an tetapi mereka mempraktekan ayat-ayat Al Qur’an, seperti ucapan :” It’s your bisnis Sir atau It’s my bisnis Sir “ mengandung makna bahwa itu urusan anda. Hal ini seperti yang tercantum dalam Al Qur’an surat ke 17 Al Israa( Perjalanan Malam ) ayat 7 :” Jika kamu berbuat kebaikan ( berarti ) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat kejahatan, maka ( akibatnya ) bagi dirimu sendiri...... “ Masalah –masalah pribadi diserahkan kepada pribadi masing-masing sedangkan masalah yang menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan lingkungannya menggunakan hukum nasional. Salah satu masalah yang sangat pribadi adalah agama dan pemahaman terhadap hal-hal berkaitan dengan rochani. Inilah yang tidak boleh diganggu dan merupakan urusan pribadi masing-masing / hak asasi manusia. Begitu juga mereka selalu mengejar ilmu pengetahuan dan teknologi baru untuk kehidupannya tanpa mengenal menyerah. Hal ini merupakan aplikasi / pengamalan Surat ke 55 Ar Rahmaan (Yang Maha Pengasih) ayat 33 : “ Hai sekalian Jin dan Manusia, jika kamu mampu menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak bisa menembusnya melainkan dengan kekuatan “ Kekuatan disini harus dijermahan sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi, agar manusia dapat menjelajah penjuru langit dan bumi. Manusia Indonesia yang mempunyai Al Qur’an belum dapat mengamalkan ayat tersebut. Inilah yang sebetulnya harus diperjuangkan oleh umat mayoritas bangsa Indonesia, bukan memaksakan untuk stagnasi budaya dan stagnasi hukum. Hukum dan budaya adalah dinamis sesuai dengan dinamika bangsa dan abstraksi generasi penerusnya terhadap perkembangan budaya manusia kotemporer dan budaya di masa yang akan datang.
Disiplin nasional tentunya harus diawali dari disiplin individu. Akumulasi disiplin individu menjadi disiplin kelompok dan seterusnya akumulasi disiplin kelompok berujung pada terwujudnya disipli nasional. Disiplin individu dan atau disiplin kelompok tidak dapat terwujud hanya dengan himbaun, pembiaran, dan berjalan alami, tetapi harus dengan tindakan tegas dan lugas dalam mengaplikasikan peraturan dan perundangan yang berlaku. Peraturan perundangan tentang kehidupan manusia juga harus lengkap sebagai kriteria dan rambu-rambu sikap dan perilaku yang baik dan yang jelek. Untuk mencapai disiplin individu, disamping menggunakan metode coersif, juga dengan metoda saling, asah, saling asuh dan saling asih. Melalui pendekatan logika, manusiawi dan pengetrapan berbagai gaya kepemimpinan di setiap strata organisasi apapun di setiap jalur lingkungan sosial maka realisasi disiplin nasional akan terwujud.


[1] Gerakan Disiplin Nasional , D.Sumarmo, CV Minijaya Abadi, Jakarta 1995