Tuesday, August 23, 2011

REORIENTASI UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Setelah kita membahas kembali tentang pengamalan Pancasila kedalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, selanjutnya kita akan membahas penjabaran Pancasila kedalam pasal-pasal UUD RI 1945 yang telah mengalami amandemen empat kali, namun belum menyentuh substansi yang seharusnya diamandemen.
Teori pengamalan Pancasila kedalam kehidupan sehari-hari tidak pernah akan terwujud manakala hanya disosialisasikan, diceramahkan serta didiskusikan dalam penataran P4 dengan menggunakan simulasi,  permainan ular tangga, permainan monopoli dan sebagainya. Konsepsi P4 merupakan pedoman pembentukan watak bangsa, agar setahap demi setahap secara berkelanjutan terwujud manusia / rakyat NKRI yang mempunyai watak, sikap dan perilaku  seperti yang dikehendaki butir-butir setiap sila dalam Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung secara implisit dan eksplisit harus diterjemahkan kedalam  rambu-rambu sikap dan perilaku manusia / rakyat dalam bentuk penyusunan peraturan dan perundangan yang aplikatif sampai tingkat  RT/RW. 

 Dalam perjalanan sejarah khususnya pada era reformasi, UUD RI 1945 telah mengalami 4 kali amandemen. Amandemen terhadap UUD RI 1945 di jaman Orde Baru dinyatakan tabu, bahkan aktor yang akan melakukan tindakan amandemen baik kelompok maupun individu akan dituduh melakukan tindakan subversif dengan konsekuensi ancaman hukuman sesuai undang-undang tentang Subersif. Sebagian elit bangsa ini, meragukan tentang kebenaran UUD RI 1945 dijadikan undang-undang dasar negara. Dia / mereka lebih senang berorientasi ke sistem dan atau paham bangsa lain. Jika kita menyadari hakiki undang-undang / peraturan apa saja,  undang-undang/aturan tersebut hanyalah untaian tulisan dengan format tertentu yang menghendaki kewajiban dan larangan manusia untuk bertindak sesuai yang tertulis itu. Dalam aplikasi di kehidupan manusia, yang merupakan subyek dan obyek perilaku, apabila manusia salah bertindak dan atau tindakannya semrawut, disengaja atau tidak disengaja, dia /mereka selalu mencari alasan pembenar dengan melontarkan isu bahwa undang-undang/aturan tersebutlah yang seharusnya direvisi. Kebanyakan manusia cenderung tidak mau menyebut dirinya yang bersalah atau secara jujur mengakui dirinyalah yang bersalah bukan aturannya.

Memang benar, manusia pada hakekatnya bersifat sombong termasuk kita penulis dan pembaca, oleh karenanya manusia tidak mau dipersalahkan. Akhirnya yang disalahkan tata aturannya karena tata aturan tidak dapat berbicara untuk menolak dan mengatakan bahwa manusialah yang bersalah. Tata aturan sungguh sangat bijak, karena walaupun dia disalahkan tetap diam dan digantipun tetap diam, sehingga manusia paling suka menyalahkan tata aturan. Kasianilah dia   ( peraturan ) , agar tidak selalu disalahkan oleh manusia. Begitu juga di Indonesia manakala terjadi permasalahan dibidang politik, di bidang ekonomi, dibidang sosial budaya, dibidang hukum, dibidang pertahanan dan kemanan serta sistem perbankan misalnya, buru-buru manusia menuduh sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial budaya, sitem hukum, sistem pertahanan dan kemanan serta sistem perbankan yang tidak baik sehingga perlu direformasi. Setelah peraturan direformasi, diadendum, diberangus atau apa saja istilahnya, yang jelas diganti atau dihilangkan, dan tetap tidak ada perubahan atau mengalami perubahan juga tidak signifikan atau juga perubahan menuju  keadaan yang lebih jelek / lebih parah.  Bagaimana sebetulnya ? Jika kita berpikir jernih dengan mata hati, kita harus mengakui secara jujur bahwa manusialah biang keladinya, seperti pepatah mengatakan “ Man Behind the Gun “

Sebagi ilustrasi bahwa manusialah biang keladinya, ada suatu ceritera di negara maju yaitu Amerika dan Jerman

            Di Amerika. US Army sedang mengadakan seleksi untuk perlombaan menembak sedunia.  Para calon petembak dikumpulkan dan dilatih. Ada satu prajurit yang postur tubuhnya baik tetapi hasil menembaknya 0. Para pelatih berdiskusi kenapa nilainya 0. Mereka berdiskusi tentang jenis senjata yang digunakan. Diskusi berkisar tentang teknologi yang digunakan senjata itu mulai dari teknologi peluru, amunisi yang digunakan, cara memasang laras, pejera, teleskop dan sebagainya. Alhasil kesimpulan diskusi bahwa senjata perlu diganti. Begitu senjata diganti, dan dicoba, hasilnya tetap menyimpang dari target, sehingga nilai masih 0. Senjata diganti lagi, hasilnya tetap 0. Setelah semua senjata yang ada di lapangan tembak habis dicoba semua, pelatih baru berfikir dan bertanya kepada petembak : “ Hei guys ! Did you ever have a trophy in your unit ?”
Petembak menjawab dengan tegas : “ Not Yet Sir “
Pelatih bertanya lagi : “ How many your score ? :
Petembak menjawab dengan lebih tegas : “ Hundred Sir “. Pelatih mulai bingung, nilai menembak 100, kenapa begini “. Pelatih lainnya bertanya : “ Hundred ?, how many are the total score ?”
Petembak menjawab lesu :” Thousand Sir “ Dua pelatih menembak jadi memahami mengapa petembak berkualifikasi demikian dikirim untuk mengikuti seleksi penyiapan event internasional. Penyelidikan berikutnya menyimpulkan bahwa dia itu adalah petembak satu-satunya, karena petembak yang baik-baik telah gugur di medan perang Vietnam. Oleh karena itu sampai sekarang di kenal Man behind the Gun.

            Di Jerman.    Lain lagi ceritera di Jerman, bukan petembak tetapi petani, Eine Bauer. Seorang petani mendengar kawannya bisa membaca koran karena memakai kaca mata baca. Dia pergi kekota untuk membeli kaca mata baca. Dia masuk kesebuah toko kacamata dan bertanya : “ Ada kaca mata baca “
Penjual : “ Oh ada, ukuran berapa :” Petani menjawab : “ saya tidak tahu tapi coba dulu saja “. penjual menawarkan :” Baiklah, coba ini “ sambil menyodorkan sebuah kaca mata baca “ Petani mencoba membaca dan menyampaikan: “ Belum dapat membaca “  Penjual toko menyodorkan yang lain. Petani mencobanya dan tetap belum bisa membaca. Penjual menyodorkan yang lain lagi, demikian pula petani selalu menjawab belum bisa membaca. Setelah semua kaca mata baca di estalasi toko dicoba semua, dan petani menjawab dengan kata yang sama belum bisa membaca, maka akhirnya penjual kaca mata bertanya : Bapak bisa membaca atau tidak “ Petani menjawab dengan santainya :” Jika saya bisa membaca, saya tidak akan mencari kaca mata baca yang bisa saya gunakan untuk membaca seperti kawan saya : “. Penjaga toko diam dan menyarankan agar petani membeli kaca mata baca di sekolah bukan di toko kaca mata.

            Dari cerita humor tersebut, ternyata memang benar manusia suka menyalahkan obyek dari pada mengakui dirinya/subyek yang salah.

            Begitu juga yang terjadi di NKRI. Elit politik melakukan reformasi total dengan menuduh  perangkat dan pranata sosial yang salah, dan perlu dirombak. Kekuatan rakyat/people power digunakan dan berhasil menumbangkan Orde Baru.  Kenyataan sesungguhnya, bukan pranata sosial yang salah melainkan manusia yang salah/man behind the gun/sang petembak yang tidak dapat menembak bukan senjatanya dan sang petani yang tidak dapat membaca bukan kacamata bacanya.   Akibat reformasi total yang salah alamat, elit politik yang merasa melakukan reformasi/para reformis  memberangus P4 dan mengamandemen UUD RI 1945.  Akibatnya selama rezim Reformasi sampai sekarang, Pancasila dan UUD RI 1945 menjadi  hiasan dinding dan pemenuh flash disk komputer. Aplikasi kenegaraan di lapangan membingungkan. Para reformis  akan menggunakan Pancasila dan UUD RI 1945 masih ragu-ragu, menggunakan aturan bangsa lain juga ragu-ragu dan tidak tahu, akhirnya para reformis menggunakan sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sosial budaya yang tidak jelas, dibiarkan saja berjalan secara alamiah. Bentuk dan sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sosial budaya yang manakah yang akan digunakan, karena memang sudah terlanjur memberangus sistem yang ada, tetapi tidak mempunyai konsepsi yang mapan dan akan kembali kesistem semula masih malu-malu kucing dan masih ragu. Terjadilah kehidupan negara tanpa tata aturan yang jelas dan manusia yang mengawakinya juga bingung, akibatnya negara dalam posisi terombang-ambing. Kaum oportunitis, mulai memanfaatkan ketidak jelasan tersebut seperti aset negara dijual, SWTstanisasi tanpa konsep, mekanisme pengambilan keputusan semrawut, sistem ekonomi juga semakin kabur untuk menjejahteraan rakyat banyak, semua kelihatan bingung dan menjadi bulan-bulanan negara lain yang sejak dulu ingin menguasai NKRI yang subur, dan elit politiknya belum memahami cara mengaturnya.  Akibatnya banyak aset yang jatuh ke tangan asing dan dapat berdampak kepada kejadian sejarah terulang kembali, yakni peristiwa sejarah VOC akan berulang lagi di jaman Reformasi ini. Apa yang harus kita perbuat ?