Tuesday, August 23, 2011

Rangkuman Buku Terbitan 2011


MEMBANGUN NEGARA EQUILIBRIUM
"Sebuah Kritik Konstruktif untuk Reorientasi Reformasi"
Gerakan Reformasi yang sudah berlangsung sekitar 12 tahun tampaknya masih juga belum menemukan formula yang tepat untuk mewujudkan cita-citanya. Perjuangan untuk meujudkan kesejahteraan masyarakat dengan mengubah hampir semua pranata sosial dan kenegaraan tidak diikuti oleh cetak biru yang hendak diwujudkan. Sehingga sampai kini arah reformasi menjadi semakin kabur.

Padahal, jika kita menengok sebentar kebelakang bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia secara jelas ditujukan antara lain untuk ‘memajukan kesejahteraan umum’. Para pendiri negara ini dengan tegas dan jelas menempatkan memajukan kesejahteraan umum atau masyarakat sebagai tugas pertama pembentukan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas mulia ini pula yang seharusnya menjadi landasan siapapun pemimpin negara ini.
Kendati demikian harus diakui bahwa selama perjalanan perikehidupan kebangsaan, telah terjadi pasang surut dalam mewujudkan tugas mensejahterakan masyarakat tersebut. Namun harus pula diakui secara jujur bahwa pada skala makro ekonomi telah terjadi kemajuan yang nyata. Ukuran maupun indikator kemajuan dengan sangat jelas bisa kita lihat dan rasakan. Meski kadar maupun skalanya tidak merata pada semua lapisan masyarakat.
Ditengah kemajuan yang telah dicapai tersebut, masih terus terjadi keinginan atau tuntutan terciptanya kesejahteraan yang lebih baik lagi. Hal ini sangat wajar. Sebab manusia senantiasa dilekati sifat-sifat yang dinamis serta tidak merasa puas atas apa yang diperolehnya. Bahkan dalam berbagai aliran ilmu ekonomi sifat dasar manusia ini menjadi titik sentral pembahasan, sehingga memunculkan beragam aliran akibat perbedaan memandang sifat manusia tersebut.
Pada tataran penyelengaraan kenegaraan, landasan pokok mewujudkan tugas mensejahterakan masyarakat adalah bagaimana memenuhi tuntutan manusia atau masyarakat yang selalu meningkat dihadapkan dengan produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh aparatur atau lembaga negara. Dinamika tuntutan kesejahteraan masyarakat yang selalu meningkat harus dikelola dan ditanggapi dengan baik oleh penyelenggara negara.
Salah satu cara yang diajukan adalah mencari titik temu antara tuntutan atau kebutuhan masyarakat dengan produk barang dan jasa yang dihasilkan penyelenggara negara. Pilihan ini pada dasarnya adalah mencari titik equilibrium guna memperoleh kepuasan kedua belah pihak antara rakyat dengan aparatur penyelenggara negara. Melalui pola inilah dinamika kepuasan masyarakat diketemukan dengan tingkat kemampuan lembaga negara menghasilkan produk barang dan jasa untuk masyarakatnya.
Kata equilibrium yang merupakan kosa kata ilmu ekonomi memiliki arti terjadinya keseimbangan antara permintaan (demand) dengan pemenuhan (supply) dalam aktivitas pasar. Permintaan bisa diidentikan dengan tuntutan masyarakat, sedang pemenuhan adalah kemampuan aparatur negara menghasilkan produk barang dan jasa. Kondisi keseimbangan dengan demikian merupakan kesepatakan kedua belah pihak guna memenuhi kebutuhan.
Kondisi equilibrium merupakan keseimbangan yang terjadi karena kedua belah pihak telah sepakat sehingga bisa digunakan sebagai titik tolok ukur penyelenggaraan negara yang seimbang, serasi dan selaras antara pelayanan dan penyediaan produk barang dan jasa dari aparatur negara. Kondisi ini sekaligus juga merupakan perwujudkan kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara negara untuk mengatur sumber daya negara.
Penyelenggara negara sebagai pihak yang melayani masyarakat atau rakyat harus dapat menawarkan kondisi dan situasi produk barang dan jasa yang meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan, keamanan dan perbankan (ipoleksosbudhankambank) sesuai dengan kondisi dan situasi tuntutan kebutuhan masyarakat. Bukan hanya bersifat sesaat namun juga mengikuti dengan perubahan tuntutan masyarakat yang semakain berkembang, modern dan kontemporer.
Titik temu atau situasi dan kondisi antara tuntutan kebutuhan masyarakat kontemporer dengan kondisi dan situasi ipoleksosbudhankambank tersebut merupakan kondisi dan situasi yang pada dasarnya merupakan tujuan dan sasaran diselenggarakannya negara oleh rakyat. Harus pula disadari bahwa kondisi dan situasi yang demikian sifatnya dinamis dan senantiasa bergerak ke arah yang dianggap lebih baik. Baik oleh masyarakat maupun aparatur penyelenggara negara.
Kondisi seperti itulah yang sejatinya merupakan tujuan dibentuknya negara. Kondisi ini secara filosofis disebut sebagai cita-cita bangsa yang dalam istilah manajemen strategis dikenal dengan visi. Oleh karena itu, tujuan dan atau cita-cita negara dan bangsa akan senantiasa bergerak dan merupakan suatu yang tidak pernah dicapai secara memuaskan dalam setiap generasi atau never ending goal.
Pada titik inilah kita menyadari esensi terjadinya beragam gelombang ketidakpuasan masyarakat pada sebuah generasi. Kegagalan penyelenggara negara menangkap dinamika tuntutan masyarakat akan menghasilkan ketidakpuasa serta berujung pada perlawanan masyarakat untuk mengganti pranata sosial kenegaraan yang ada. Namun demikian, jika perubahan tidak diikuti oleh cetak biru yang jelas dalam menangkap dinamika tuntutan masyarakat akan menimbulkan kekecewaan baru.
Untuk itu, guna membangun negara equilibrium yang harmonis berkeseimbangan memang membutuhkan sejumlah prasyarat. Selain diperlukan rekayasa sosial (social engineering) dengan membentuk pranata sosial atau rambu-rambu hukum dan peratutan dan perundang-undangan beserta bentuk organisasi, juga dibutuhkan awak organisasi yang kompeten atau mumpuni. Baik dari aspek perilaku, ilmu pengetahuan dan teknologi, aspek kesehatan phisik dan jiwa.
Menurut pendapat kalangan ahli atau pakar ilmiah dan rokhaniah bisa dijadikan sebagai landasan untuk menentukan atau memilih Sumber Daya Manusia yang akan menjadi penyelenggara negara. Selain itu, pengalaman kehidupan dan penyelenggaraan negara lain bisa menjadi bahan pembanding atau sebagai acuan dalam menyiapkan SDM maupun peraturan perundang-undangan maupun pembentukan organisasi penyelanggara negara.
Tidak kalah penting adalah hubungan yang harmonis antara organisasi di internal aparatur penyelenggara negara maupun antar organisasi masyarakat dengan penyelenggara negara. Koordinasi dan hubungan yang harmonis dibutuhkan sebagai iklim pengelolaan sumber daya negara. Pada gilirannya iklim yang baik ini akan bisa menghasilkan produk barang dan jasa yang mampu mengikuti tuntutan dinamika masyarakat.
Apakah gelombang reformasi telah berhasil menata pondasi bagi terbentuknya negara equilibrium? Para pelaku reformasi yang berusaha memisahkan kekuasaan tetap gamang dan ragu-ragu merumuskan NKRI sebagai negara demokratis. Setidaknya ini nampak bahwa yang dipilih dalam amandemen UUD 1945 adalah sistem check and ballances a la Amerika. Akibatnya kegaduhan politik tak terhindarkan.
Contoh kegaduhan adalah peristiwa politik yang mirip sistem parlementer terjadi pada sistem presidensil. Parlemen melakukan tekanan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kendati berbeda dengan voting angket Century, namun voting pembentukan angket mafia pajak yang dimenangkan partai pendukung Presiden juga menghasilkan kesan terjadi degradasi dukungan parlemen terhadap Presiden.
Inilah ironi yang dialami Presiden SBY. Menjadi Presiden pertama dan dua kali berturut-turut yang memenangkan pemilihan langsung namun tampak terkekang oleh sistem politik yang berlaku. Mandat cukup besar yang diterima langsung dari rakyat seakan tak bisa leluasa digunakan memimpin pemerintahan akibat terjerat oleh elit politik dalam sistem politik yang juga memang abu-abu.
Pemilihan presiden secara langsung sebagai hasil empat kali amandemen UUD 1945 terbukti belum secara langsung menghasilkan sistem politik yang sesuai. Interprestasi sistem politik oleh elit partai politik yang memunculkan dinamika perpolitikan belum sepenuhnya bisa diatasi oleh sistem politik yang ada. Bahkan, Presiden SBY juga terpancing melakukan langkah politik sesuai interprestasinya sendiri.
Sebut saja koalisi. Terminologi koalisi adalah pelaksanaan pasal 6A ayat 2, 3 dan ayat 4 UUD 1945 hasil amandemen ketiga yang disyahkan pada 10 Nopember 2001, yang menyatakan bahwa ayat 2 :” Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum “.
Ayat 3 :” Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden “.
Ayat 4 :” Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Namun, selain memunculkan perbedaan penafsiran, pemilihan umum harus dua kali atau lebih, pemenang pemilu bukan berasal dari kehendak rakyat mayoritas, sistem koalisi di NKRI juga tidak menjamin adanya dukungan dari partai koalisi kepada pemerintah. Hal inilah yang membuat hubungan partai politik dalam koalisi dengan permerintah kurang harmonis.
Meskipun pemerintah kedudukannya sejajar dengan parlemen dan tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, Presiden akhirnya tetap membutuhkan dukungan parlemen ( untuk chek and balance ). Terlebih lagi dengan sistem multi partai. Presiden dituntut piawai mengelola hubungan, komunikasi dan dukungan dari sebanyak-banyaknya partai politik agar program pemerintah yang dipimpinnya bisa berjalan dengan baik. Pada titik inilah hubungan transaksional ( dagang sapi ) hampir sulit dihindari.
Transaksi politik sesuatu yang dianggap sah-sah saja dalam perpolitikan. Sebab, melalui pola transaksional inilah acap kali kompromi atau titik temu dalam kemelut praktek politik diperoleh penyelesaian. Hanya saja, jika tidak piawai dalam mengelola, transaksi politik juga bisa membuka moral hazard. Politik yang ujungnya untuk mengelola negara akan menjadi alat bagi kepentingan elit politik dan kelompoknya, bukan untuk kepentingan masyarakat.
Koalisi memang tak terhindarkan dalam sistem multi partai. Namun, perbedaan interprestasi dalam praktek, memang menjadi sumber ketidakstabilan pemerintah. Apalagi jika koalisi disikapi dengan pemahaman emosional dan menjurus memandulkan pemerintah yang berkuasa. Sehingga kepemimpinan pemerintahan Presiden terpilih selama lima tahunan menjadi berpotensi digoyang oleh koalisi sehingga tidak berjalan dengan efektif.
Transaksi politik adalah ekses dari amandemen UUD 1945 yang ingin mengadopsi sistem presidensil a la Amerika. Meski tidak seluruhnya sama persis, harus diakui bahwa sistem presidensil yang diterapkan saat ini rasanya berkiblat kepada praktek di Amerika khusunya check and balance antara lembaga negara. Namun, barangkali justru adopsi dengan melupakan unsur manusia beserta budayanya inilah yang menjadi penyebab begitu riuh dan gegap gempita praktek kenegaraan dan perpolitikan yang kadang dirasa menyedot energi bangsa.
Harus diakui pula, para penyusun UUD 1945 (asli) yang juga founding fathers, memang sangat kental mewarnai sistem demokrasi Indonesia sebagai ramuan antara sistem liberal yang mengutamakan hak dan kewajiban individu di Amerika dengan sistem kolektivisme yang mengutamakan hak dan kewajiban kolektif di Uni Soviet saat itu. Sehingga warna ramuan sistem kabinet parlementer dengan sistem kabinet presidensil juga begitu terasa dalam konstitusi kita ini.
Jika dicermati, esensi UUD 1945 adalah keseimbangan (equilibrium) dan harmoni. Barangkali spirit inilah yang hendak diwujudkan oleh para pengamandemen UUD 1945 di era reformasi ini. Hanya saja sistem kabinet presidensil koalisi yang dihasilkan dalam praktek masih menyisakan berbagai persoalan ketatanegaraan. Setidaknya, presiden terpilih tidak bisa menjalankan pemerintahan dengan leluasa.
Walaupun perumus atau bapak-bapak pendiri bangsa telah meramu dan berusaha menyerasikan antara keduanya, namun UUD 1945 masih mengandung makna yang membias dari hakiki makna negara republik dan makna demokrasi. Selain mengakomodasi koalisi, bias juga tercermin lantaran kekuasaan negara masih tetap dibawah satu tangan manusia yakni menempatkan Presiden sebagai lembaga perseorangan sekaligus sebagai Kepala Negara.
Selain itu, rasanya koalisi memang terdengar janggal dalam sistem kabinet presidensil. Lazimnya koalisi terjadi dalam sistem kabinet perlementer. Oleh sebab itu, sistem kabinet koalisi presidensil sudah saatnya perlu ditata ulang. Sistem demokrasi sebaiknya diarahkan bagi terbentuknya dua kekuatan partai politik hasil dari pengelompokan partai peserta pemilu. Melalui dua kelompok kekuatan inilah diharapkan terjadi check and ballances dalam sistem ketatanegaraan dan pemilu tidak dilakukan berulang serta Presiden dan Wakil terpilih berasal dari hasil pemilihan rakyat mayoritas dari jumlah pemilih yang syah.
Kelompok partai pemenang pendukung Presiden terpilih menjadi penyelenggara pemerintahan. Sedang kelompok partai yang kalah dalam pemilihan Presiden menjadi oposisi dalam parlemen. Selanjutnya untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan, kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara sebaiknya dipertanggungjawabkan kepada MPR, sehingga Presiden akan lebih fokus dan penuh konsentrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan yang efektif.
Pengalihan kekuasaan Kepala Negara kepada MPR sekaligus juga mengembalikan esensi negara keseimbangan sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Terlebih lagi dalam konstitusi kekuasaan Presiden jelas tidak tak terbatas. Sistem demokrasi yang demikian menjadikan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dalam menjalankan tugas diimbangi oleh kekuasaan Legislatif dan kekuasaan Yudikatif dengan prinsip check and ballances yang dijalankan oleh Parlemen.
Untuk itu momentum amandemen UUD 1945 yang banyak disuarakan elemen masyarakat sebaiknya tidak hanya terbatas syarat menjadi Calon Presiden. Namun juga sekaligus menyangkut kelembagaan negara. MPR diakomodir berperan dan berfungsi sebagai Kepala Negara merupakan collegial leadhersip yang memiliki organ kekuasaan pemerintahan (executive), kekuasaan parlemen (legislative), kekuasaan kehakiman (yudicative), kekuasaan keuangan (finance power-Bank Indenesia) dan kekuasaan keamanan dan pertahanan (TNI).(*)