Lembaga ini masih diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sehingga loyalitas anggota Yudikative cenderung kepada Presiden. Dampaknya, Yudikative yang seharusnya merupakan lembaga negara yang independen dan berdiri sama tinggi dengan lembaga Eksekutive dan Lembaga Negara lainnya menjadi lembaga yang seolah-olah dibawah pengaruh Pemerintah. Kondisi demikian, sulit bagi Yudikative dapat memainkan peran sebagai lembaga yang sejajar dengan Eksutive dan Legislatif serta mempunyai otoritas hukum yang mandiri. Dewasa ini tokoh reformasi malah membentuk Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Yudisial. Kedua Mahkamah hanya mengurusi jaksa dan hakim di Mahkamah dan di pengadilan. Padahal makna UUD 1945 mengisyaratkan agar kekuasaan Kehakiman/Mahkamah Agung mandiri. Jaksa, Hakim mempunyai kedudukan yang kuat karena sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat, sejajar dengan Eksekutive dan Legislative. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Yudisial seharusnya merupakan organ Majelis bidang hukum/yakni dibawah aspek Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kekuasaan tertinggi Yudikative di tangan Majelis dan dijelmakan dalam organ seperti Mahkamah Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Dan masih ada tugas, wewenang dan tanggungjawab tambahan untuk kedua institusi ini, jika ia berada di Majelis (memerlukan pembahasan tersendiri). Hal ini mempunyai landasan yang kuat dalam UUD 1945. Pada saat reformasi berjalan, para praktisi dan ahli hukum buru-buru ingin mengatur diri sendiri (hakim dan jaksa) mumpung tokoh yang berkuasa telah tumbang. Pertimbangan seperti ini akhirnya menimbulkan pemikiran yang membias yakni mereka hanya melihat dari sisi kelemahan UUD 1945, bukan merenungkan makna yang tersirat pasal demi pasal dan penjelasan UUD 1945 yang disusun dalam situasi bangsa yang prihatin, sehingga lebih bermakna. Saat itu, barangkali para pakar dan praktisi hukum inginnya hanya satu, yaitu memberangus pranata sosial hukum tinggalan Orde Baru. Keinginan luhur reformasi menjadi kabur dan tidak jelas, kehilangan substansi dasar reformasi, siapakah aktor intelektualnya ? Para pelaku reformasi hanyalah corong dan wayang yang tidak sadar bahwa beliau-beliau sedang dimainkan oleh sang dalang yang tidak bertanggungjawab. Beliau sebentar ikut menikmati hasil sebagai wayang dan corong sambil secara tidak sadar telah merusak tatanan yang ada, kemudian tumbang sebelum saatnya. Menurut hypotesa penulis, ada sistem kekuatan raksasa yang telah merobohkan bangunan tanpa mempunyai konsepsi yang jelas, hanya sekedar menghancurkan pranata dan infra struktur yang telah dibangun selama Orde Baru. Sistem raksasa tersebut telah sembunyi sambil menikmati hasil bangunan yang telah menjadi puing-puing rongsokan dan sedang diupayakan untuk dibangun kembali tanpa mempunyai denah atau master plan yang jelas. Akibatnya negara dalam situasi terombang ambing seperti yang dikhawatirkan dalam substansi pengamalan Pancasila dan UUD 1945
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment