Wednesday, August 13, 2008

TINJAUAN DAN BAHASAN PENULIS TENTANG NEGARA DAN MANUSIA INDONESIA DALAM MENCAPAI CITA-CITA BANGSA

Berbicara tentang konsepsi, paham, sistem atau apapun namanya sepanjang konsepsi dibuat oleh manusia, pasti akan berbeda-beda sesuai dengan persepsi manusia serta beberapa manusia lainnya yang mengikuti. Sebagai contoh, dalam disiplin ilmu hukum, dikenal ada istilah Anglo Sakson dan istilah Continental, dua hal yang mendasari pertimbangan hukum tertulis. Demikian pula didalam pengelolaan perusahaan, menurut Ridwan Khairandy dan Camelia Malik dalam bukunya berjudul Good Corporate Governance, Perkembangan Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum, terbitan Kreasi Total Media Yogyakarta tahun 2007 menyebutkan teori-teori korporasi dan pengaruhnya terhadap stuktur pengelolaan perseroan. Pada bab II dijelaskan mulai Proprietary Theory, Entity Theory, Residual Theory, Fund Theory sampai dengan Enterprise Theory. Dijelaskan lebih lanjut bahwa Entity Theory yang berkembang lebih jauh dan menurunkan agency theory dan stewardship theory yang berpengaruh terhadap struktur coporate governence berbagai perusahaan diseluruh dunia [1].

Munculnya berbagai teori tersebut mempengaruhi model-model penataan suatu perusahaan, seperti Common Law Model (the Anglo American Model) dan istilah Civil Law Model (the Continental European Model). Dua model inilah yang mendasari penyusunan mekanisme pengelolaan perusahaan. Menata negara tidak jauh dengan menata keluaraga dan atau perusahaan.

Demikian pula didalam pengaturan kekuasaan negara, Friedrich Elbert Stiftung (FES) telah menerbitkan buku Demokratie in Asien : Ein Kontinent swishen Diktatur und Demonkratie yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh C.V.D Indarwati Pareira, Dra, MT dan Andreas H.Pareira,Dr cetakan pertama, Maret 2005, yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Demokrasi di Asia, sebuah Benua antara Diktatur dan Demokrasi. Buku tersebut menguraikan Demokrasi dan Otokrasi. Dalam uraiannya, FES menjelaskan bahwa demokrasi sudah ada sejak jaman Yunani kuno serta berbagai usaha mewujudkannya. Pada bahasan berikutnya FES menjelaskan tentang Demokrasi Elektoral, Demokrasi Negara Hukum dan Demokrasi Cacat. Selanjutnya FES menjelaskan bahwa selain sistem demokrasi, FES menyebut sebagai Sistem Otokrasi yang terdiri dari Sistem Otoriter dan Rezim Totaliter [2].

Hal ini sesuai kodrat Ilahi yang menciptakan berpasangan bagi manusia. Dari pasangan tersebut muncul juga istilah yang menggunakan kedua duanya ( gado-gado), seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini setelah reformasi. Reformasi telah mengamandemen UUD 1945 yang sebetulnya menurut FES, adalah sistem demokrasi wilayah abu-abu /demokrasi cacat, menjadi semakin cacad. Penulis lebih suka menggunakan sistem gado-gado, antara sistem liberal dan sistem komunis, antara sistem parlementer dan sistem presidensiil dan tetap menjurus kepada kekuasaan negara yang berada pada satu tangan manusia/otokrasi/pengambilan keputusan bukan berdasarkan demokrasi.

FES, lebih jauh menjelaskan tentang Demokrasi Negara Hukum yang menyatakan bahwa demokrasi berhubungan dengan masalah kesejahteraan bangsa, prinsip persamaan politik, kebebasan dan kontrol terhadap kekuasaan. Bila tidak membahas hal tersebut sebaiknya tidak berbicara masalah Demokrasi Negara Hukum. FES mendifinisikan demokrasi adalah satu perangkat kumpulan norma dan institusi, yang melembagakan tiga dimensi kekuasaan politik yaitu dimensi vertikal, dimensi horizontal dan dimensi transversal. [3]

Dimensi Vertikal meliputi hak pilih universal, kontrol kekuasaan vertikal dan pelaksanaannya yang efektif dan mendasar terhadap hak-hak partisipasi politik. Dimensi horizontal berarti wewenang` untuk mengontrol dalam rangka pembagian kekuasaan antara lembaga pemegang otoritas negara (Staatgewalt) dan lembaga pelaksana kekuasaan negara (rechastaatlichen Herrschaftsausubung). Dimensi transversal menunjukan pengelompokan yang efektif terhadap kekuasaan pemerintahan sebagai pemegang legitimasi kekuasaan demokratis yang sah.

Penulis tidak sepenuhnya menerima uraian FES tersebut. Penulis menambahkan bahwa demokrasi Negara Hukum adalah sistem pembagian kekuasaan negara untuk menjamin tercapainya kesejahteraan bangsa termasuk didalamnya adalah kemakmuran dan keadilan /prosperity, keamanan /security, prinsip persamaan politik, kebebasan dan kontrol terhadap kekuasaan serta kekuasaan tertinggi negara berada di tangan rakyat yang dijelmakan secara nyata dalam bentuk majelis permusyawaratan rakyat. Mekanisme pengambilan keputusan masalah negara dilaksanakan secara demokrasi, musyawarah untuk mufakat /voting, kepemimpinan kepanitiaan atau group desicion maker, bukan pada satu orang apapun sebutannya / Kepala Negara/Raja/Ratu/Kaisar/ single desicion maker.

Untuk kepentingan sehari-hari, tugas, wewenang dan tanggungjawab pelaksanaan pengurusan negara didelegasikan kepada eksekutive dan harus tetap dikontrol oleh pemegang kekuasaan tertinggi negara.

Kita sering mengatakan negara. Apa sih negara itu ? Negara sifatnya abstrak tetapi kongkrit. Dikatakan asbtrak karena negara tidak dapat dipegang. Dikatakan kongkrit karena nama negara memang ada barangnya, ada wujudnya. Pakar politik menyebut negara terdiri dari rakyat, wilayah, pemerintah beserta kedaulatannya. Oleh karena itulah para ahli mengatakan bahwa yang disebut Negara harus mempunyai minimun 4 (empat) unsur yakni Rakyat, Wilayah, Pemerintah, Kedaulan. Rakyat, jelas adalah kumpulan manusia yang ada di negara tersebut

Bagaimana dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia ? Wilayah, juga jelas, dari Mianggas sampai Merauke beserta air dan udara diatasnya serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Pemerintah juga jelas, dari Presiden sampai tukang sapu di Departemen atau non departemen pemerintah, dari aparat pemerintah Pusat sampai aparat pemerintah Daerah yang sering kita sebut sebagai Eksekutif. Kedaulatan, jelas abstrak. Kedaulatan negara mengandung pemahaman demokrasi negara hukum yakni kedaulatan Rakyat yang mengejawantah dalam bentuk kedaulatan Kepala Negara, Kedaulatan Eksekutif, Kedaulan Legislatif dan Kedaulatan Yudikatif (karena kita tampaknya mengikuti paham Trias Politica ) dan Kedaulatan TNI ( sebagai aparatur negara yang mempunyai tugas,wewenang dan tanggung jawab di bidang keamanan,tambahan penulis ).

Apakah kedaulatan hanya diartikan sebagai kekuasaan pemerintah yang diakui oleh bangsa lain ? Jika kita cermati makna kedaulatan, disamping pengakuan bangsa lain terhadap kedaulatan Kepala Negara, kedaulatan Eksekutive, Legislative dan Yudikative serta TNI, kita juga harus mengartikan pengakuan / kesadaran dari rakyat terhadap kekuasaan Kepala Negara. kekuasaan Eksekutive, kekuasaan Yudikative dan kekuasaan Legislative serta kekuasaan TNI yang telah mereka pilih sendiri secara bebas, rahasia, adil dan jujur serta penuh rasa tanggungjawab. Pengakuan/kesadaran dari rakyat inilah, yang dapat menjamin kondisi negara dalam keadaan stabil dan dinamis. Negara yang stabil dan dinamis akan mempunyai waktu yang leluasa dalam menata kehidupan bangsa dan masyarakatnya untuk mewujudkan rakyat yang sejahteran, adil, makmur dan aman serta demokratis dalam kurun waktu yang tidak terbatas. Untuk memperoleh pengakuan/kesadaran rakyat, agar negara selalu dalam keadaan stabil dan dinamis, ada prasyarat/prerequsite yang harus diwujudkan baik oleh Kepala Negara, Eksekutive, Yudikative, Legislative, TNI maupun oleh rakyat itu sendiri.

Walaupun kita sudah sepakat bahwa dalam Negara, ada yang namanya pemerintah, namun aplikasi ketata negaraan dewasa ini, antara kekuasaan negara dan kekuasaan pemerintah dicampur aduk, sehingga menjadi kabur mana negara dan mana pemerintah, ada istilah pemerintahan negara dan istilah pemerintahan.

Kepala Pemerintahan / Presiden, mengapa bisa merangkap menjadi Kepala Negara dengan alasan sistem Presidensiil. Siapa yang mengharuskan kalau Presiden merangkap sebagai Kepala Negara ? Teori ilmu politik dalam Sistem Kabinet Presidensiil ? Sistem Kabinet Presidensiil dianut oleh USA. Di USA sendiri sebetulnya termasuk demokrasi cacat, karena kekuasaan rakyat dilimpahkan kepada Konggres dan Presiden. Presiden mempunyai hak veto, sehingga kekuasaan rakyat dipegang oleh satu orang yakni Presiden. Padahal substansi kehendak demokrasi tidak demikian. Kekuasaan rakyat yang didelegasikan kepada Konggres, itulah bentuk demokrasi Negara Hukum. Apakah Indonesia mesti mengikuti teori yang cacat juga ? Sistem Kabinet Parlementer dan Sistem Kabinet Presidensiil adalah bentuk-bentuk teori pembagian kekuasaan dan pengambilan keputusan kenegaraan yang ditawarkan untuk diaplikasikan di negara-negara yang akan menggunakan sistem demokrasi. Kenyataan di dunia ini, ada berbagai aplikasi demokrasi, seperti yang disampaikan oleh FES yakni demokrasi elektoral, demokrasi negara hukum dan demokrasi cacat.

Memang didalam penjelasan UUD 1945, ada hal yang ambiguitas yakni Majelis dikatakan memegang kekuasaan tertinggi negara, sedangkan di dalam penjelasan UUD 1945, menyebut Presiden memegang kekuasaan tertinggi pemerintahan negara. Namun jika kita sadar, sebetulnya makna pemegang kekuasaan tertinggi negara telah dijelaskan lagi. Baca penjelasan bahwa Presiden tidak NEBEN tetapi UNTERGEODERNET kepada Majelis.

Jika demikian, berarti kekuasaan tertinggi negara tetap berada di Majelis. Namun pada jaman reformasi dewasa ini, malah kekuasaan Majelis dikebiri, sekedar menampung kepentingan sesaat. Kepentingan Negara, Bangsa dan Masyrakat adalah Never Ending Goal sedangkan kepentingan manusia secara individu dan kroninya adalah kepentingan sesaat, tetapi mengapa para ahli dan praktisi hukum serta aparatur negara mengutamakan kepentingan yang sesaat ? Apakah bangsa kita akan dibiarkan punah ???

Siapapun manusia yang memegang kekuasaan sebagai Presiden yang merupakan Kepala Pemerintahan, diberi kekuasaan tertinggi sih senang-senang saja bahkan gembira. Pada saat kewenangan sebagai Kepala Pemerintah habis, Presiden akan menggunakan kewenangan sebagai Kepala Negara. Jika Presiden menggunakan kewenangan sebagai Kepala Negara, tamatlah sudah negara yang katanya negara hukum, negara yang demokratis, karena negara telah berubah menjadi negara otokrasi yang diipimpin oleh seorang Kaisar yang dapat berbuat apa saja dan didukung oleh hukum secara syah.

Oleh karena itu, kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan harus dikembalikan secara proporsional, sedangkan kewenangan Kepala Negara diberikan kembali kepada MPR selaku Lembaga pemegang kekuasaan tertinggi negara yang berasal dari pemilihan rakyat. Oleh karena itu, anggota MPR harus dipilih secara langsung oleh rakyat.

Dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan Keuasaan Presiden Tidak Tak Terbatas, ini berarti kekuasaan Presiden terbatas. Arti terbatas disini harus diterjemahkan terbatas hanya pada kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan saja / Kepala Eksekutive. Inilah yang dimaksud mereformasi UUD 1945, bukan mereformasi total habis dan tidak memiliki konsep yang mapan.
[1] Good Corporate Governence , Perkembangan Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum, Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, Kreasi Total Media Ypgyakarta 2007.
[2] Demokrasi di Asia, sebuah Benua atara Diktatur dan Demokrasi, Friederich Elbert Stiftung, Kantor Perwakilan Indonesia, Jln Kemang, Selatan IX No IA-B, Jakarta 12730, Website : http://www.fes.or.id/, cetakan pertama Maret 2005

[3] Ibid p-36

No comments: